Rabu, 19 Desember 2012

MODEL STIMULASI UNTUK MENGOPTIMALKAN FUNGSI OTAK ANAK DENGAN MENGGUNAKAN BRAINDANCE


Otak anak berkembang dan bekerja dengan caranya yang unik. Keunikan inilah yang akhirnya membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang unik. Anak menerima, memproses, menyimpan dan menggunakan kembali informasi yang didapatkan dari lingkungan dengan cara yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Struktur otak anak terbentuk pada awal kehidupannya sejak berada dalam kandungan dan berlanjut terus hingga dia dilahirkan. Struktur otak yang telah terbentuk  seyogyanyalah mendapatkan stimulasi yang tepat agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga otak anak berkembang menjadi otak normal dan sehat.

Ketika anak dilahirkan, banyak stimulasi yang diberikan, salah satunya adalah dengan berbagai macam gerakan, karena ternyata, gerakan mendukung perkembangan fisik motorik, yang sangat menunjang perkembangan proses kognitif. Stimulasi gerak yang diberikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak serta sejalan dengan usia anak.
Pada usia 3 – 4 tahun, salah satu stimulasi gerakan yang dapat diberikan adalah braindance. Braindance, yang merupakan serangkaian gerakan yang mengutamakan kelenturan dan kesesuaian dengan perkembangan motorik anak usia 3 – 4 tahun, di samping juga berfungsi untuk mengoptimalkan kinerja otak, karena menstimulasi berbagai sel otak, sehingga menyiapkan anak untuk belajar.  Gerakan braindance terdiri atas 17 gerakan dasar yang mudah dilakukan oleh anak. Dalam braindance dikembangkan pula “touch” dan “sensation”, sehingga anak dapat mengembangkan “sense of self”. Lebih lanjut, gerakan braindance dapat dikembangkan dengan latar budaya Indonesia sehingga nampak kekhasan masing-masing daerah dengan tetap mengedepankan karakteristik anak usia dini.

Stimulasi gerak tersebut dapat diberikan kepada anak sebelum kegiatan pembelajaran, sebagai salah satu upaya untuk mengkondisikan anak. Pengkondisian ini penting mengingat bahwa anak memiliki latar belakang yang berbeda-beda ketika berada di rumah (sebelum berada di sekolah). Ada anak yang memang dalam kondisi baik-baik saja atau ceria, namun bermasalah atau mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan  sehingga perlu dikondisikan. Pengkondisian ini membuat anak siaga untuk menerima informasi. Di sinilah peran utama braindance, yaitu menyiagakan dan meningkatkan kesiagaan otak, apalagi, gerakan braindance tersebut diiringi oleh musik yang menyenangkan, sehingga memberikan suasana yang riang. Musik tersebut dibarengi dengan lagu yang bercerita tentang binatang katak dan alam, sehingga menumbuhkan imajinasi mengenai hal tersebut.(salam, Widya)

MENGAJAK ANAK BERGERAK DENGAN BRAINDANCE


Bergerak bagi anak pada umumnya merupakan suatu kebutuhan dan aktivitas yang menyenangkan, kecuali bagi anak yang mengalami hambatan-hambatan tertentu. Oleh karena it ulah, anak akan sangat bersuka cita ketika bergerak menjadi bagian dari kegiatan pembelajaran. Agar gerakan yang dilakukan oleh anak lebih bermakna, maka model stimulasi gerak yang diberikan haruslah terarah.


Salah satu model yang dapat diberikan adalah dengan braindance. Sebagai salah satu bentuk stimulasi model, maka tahap-tahap pemberian stimulasi dapat diuraikan sebagai berikut.
  1. Penilaian sensory profile (1 hari sebelum braindance dilakukan)
  2. Pijakan awal
a.       Berdialog dengan anak (menanyakan kabar anak, perasaan anak, dan lain-lain)
b.      Bercerita tentang alam (kehidupan katak, alam, dan lain-lain terkait syair lagu dalam braindance)
c.       Menunjukkan gerakan braindance dengan memutarkan VCD braindance
d.      Mengajak anak melakukan gerakan braindance  satu per satu
e.      Melakukan gerakan braindance
  1. Anak diajak beristirahat sejenak (rileks, makan makanan ringan, minum, dan lain-lain)
  2. Pijakan akhir
a.       Menanyakan perasaan anak mengenai kegiatan yang telah dilakukan
b.      Menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan selanjutnya
  1. Penilaian sensory profile (1 hari sesudah braindance dilakukan)

Dengan melalui tahap-tahap tersebut diharapkan stimulasi dapat dilakukan dengan benar, sehingga tujuan stimulasi untuk mengoptimalkan fungsiotak anak usia dini dapat tercapai. Optimalnya fungsi otak akan mendukung kesiapan anak untuk belajar, sehingga proses perkembangan terjadi dengan baik. Proses perkembangan yang berjalan sesuai dengan tahap-tahapnya diharapkan mampu mewujudkan generasi Indonesia yang handal.(salam, Widya)

TOILET TRAINING BAGI ORANG DEWASA


Kita sering mendengar istilah “toilet training” atau latihan terkait penggunaan toilet dan aktivitas yang berhubungan dengan hal tersebut, seperti buang air besar dan buang air kecil. Akan tetapi, aktivitas ini lebih banyak terkait anak usia dini, yang memang sedang dalam proses berlatih, sehingga mungkin agak aneh ketika judul dalam tulisan ini adalah bagi orang dewasa? Pembaca pasti akan bertanya-tanya, perlukah toilet training bagi orang dewasa? Lalu, bagaimana caranya dan siapa yang akan melakukan? Judul ini pasti tidak serius atau salah ketik, demikian mungkin kata hati para pembaca.
Judul di atas tidak salah ketik, dan juga tidak sedang bercanda di dunia maya. Toilet training memang perlu dan penting bagi orang dewasa, karena ternyata banyak orang dewasa yang tidak melakukan dengan benar. Contoh menarik dan sering dijumpai terkait hal tersebut adalah ketika berada di toilet umum. Penulis pernah menjumpai ada seorang ibu keluar dari toilet dan mengatakan bahwa toilet rusak. Penulis merasa penasaran, karena toilet tersebut berada di sebuah bandara internasional dan tidak ada peringatan bahwa toilet rusak. Akhirnya, penulis “memberanikan diri” masuk ke toilet tersebut (karena yang lain penuh), dan ternyata ketika tombol kran ditekan, air mengalir, dan seluruh kotoran tersiram. Ternyata, ibu tersebut tidak tahu cara menggunakan toilet.
Pada kesempatan yang lain, di tempat yang lain, toilet umum berbau sangat tidak sedap. Ternyata, pengguna tidak menyiram dengan benar. Ini menunjukkan betapa toilet training diperlukan bagi orang dewasa, karena mungkin toilet training tidak tuntas waktu usia dini.
Lalu, bagaimana caranya?  Pertama, bentuk toilet di tempat-tempat umum pasti bervariasi, demikian pula dengan cara penggunaannya. Oleh karena itu,  perlu dipasang pengumuman cara penggunaan toilet, baik dalam bentuk tulisan maupun gambar, untuk membantu pengguna. Kedua, apabila toilet harus disiram, perlu diinformasikan dengan jelas, berapa gayung air yang harus disiramkan agar tidak meninggalkan bau yang tidak sedap, karena ternyata masih banyak orang dewasa yang berpikir konkret, sehingga perlu ada penjelasan rinci. Ketiga, pada pintu keluar perlu dipasang pengumuman agar mencuci tangan dengan sabun, karena ternyata masih banyak orang dewasa yang tidak mencuci tangan dengan benar ketika keluar dari toilet. Oleh karena itu, prosedur mencuci tangan dengan benar pun kiranya perlu diinformasikan. Dengan demikian, diharapkan orang dewasa dapat menjadi contoh yang baik dan benar bagi anak usia dini dalam penggunaan toilet, sehingga kesehatan lingkungan dan pribadi dapat terjaga. (salam, Widya)

Senin, 15 Oktober 2012

Pengasuhan Anak *)


Oleh :

Widya Ayu Puspita. SKM.,M.Kes

Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan kurun waktu yang sangat penting dan kritis dalam hal tumbuh kembang fisik, mental, dan psikososial, yang berjalan sedemikian cepatnya sehingga keberhasilan tahun-tahun pertama untuk sebagian besar menentukan hari depan anak. Kelainan atau penyimpangan apapun apabila tidak diintervensi secara dini dengan baik pada saatnya, dan tidak terdeteksi secara nyata mendapatkan perawatan yang bersifat purna yaitu promotif, preventif, dan rehabilitatif akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya (Sunarwati, 2007).

Selanjutnya, pengasuhan anak merupakan salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama pada masa-masa kritis, yaitu usia 0 – 8 tahun. Kehilangan pengasuhan yang baik, misalnya perceraian, kehilangan orang tua, baik untuk sementara maupun selamanya, bencana alam dan berbagai hal yang bersifat traumatis lainnya sangat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologisnya.

Dengan demikian, kehilangan atau berpisah dari keluarga ini akan meningkatkan risiko kesehatan, perkembangan dan kesejahteraan anak secara keseluruhan. Risiko ini akan meningkat, apabila kehilangan ini terjadi dalam masa kritis pertumbuhan anak, yaitu masa awal kanak-kanak. Akibat bencana alam, perang, perceraian, kematian orang tua dan anggota keluarga lainnya, dan kelahiran tak dikehendaki seorang anak dapat mengalami kesulitan berkembang menjadi manusia dewasa seutuhnya.

Dengan mengacu kepada konsep dasar tumbuh kembang maka secara konseptual pengasuhan adalah upaya dari lingkungan agar kebutuhan-kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang (asuh, asih, dan asuh) terpenuhi dengan baik dan benar, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Akan tetapi, praktiknya tidaklah sesederhana itu karena praktik ini berjalan secara informal, sering dibumbui dengan hal-hal yang tanpa disadari dan tanpa disengaja serta lebih diwujudkan oleh suasana emosi rumah tangga sehari-hari yang terjadi dalam bentuk interaksi antara orang tua dan anaknya serta anggota keluarga lainnya. Dengan demikian hubungan inter dan intrapersonal orang-orang di sekitar anak tersebut dan anak itu sendiri sangat memberi warna pada praktik pengasuhan anak.

Menurut Sears (1957) child rearing is not a technical term with precise significance. It refers generally to all the interactions between parents and their children. These interactions between parents and their children include the parent expressions of attitudes, values interests, and beliefs as well as their children care-taking and training behavior. Sociologically speaking, these interactions are an inseparable class of events that prepare the child, intentionally or not, for continuing his life (Sunarwati, 2007).

Pada kenyataannya seringkali kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang tidak didapatkan anak dengan baik dan benar. Beberapa contoh adalah:

a. Asuh, misalnya ketiadaan pemberian Air Susu Ibu (ASI) dengan pengganti ASI saja (meskipun belakangan ini ada susu-susu formula yang diupayakan mendekati kualitas ASI, yaitu dengan kandungan lizozim laktoferin dan laktosa), dan ketidaktahuan sehingga terjadi penelantaran anak

b. Asih, misalnya pada kehamilan tak diinginkan yang berkepanjangan, kasih sayang ibu yang tak benar (smother love versus mother love)

c. Asah, misalnya dusta putih, suasana murung, sepinya komunikasi, pertengkaran, kekerasan dalam keluarga, disparitas gender, dan sebagainya.

Thurbe dan Cursnann telah meneliti secara kohort selama 21 tahun terhadap 120 anak yang dilahirkan dari kehamilan yang tidak dikehendaki dibandingkan dengan 120 anak dengan keadaan setara namun lahir dari kehamilan yang diinginkan. Mereka menemukan bahwa kelompok anak yang tidak diinginkan menunjukkan perilaku asosial lebih banyak, lebih sering membutuhkan jasa dokter ahli jiwa serta kecerdasannya pun lebih rendah daripada kelompok anak yang lahir dari kehamilan yang diinginkan.

Dalam kaitan tercapainya keeratan ikatan ibu-anak, selain kontak kulit, visual dan emosi sesegera mungkin setelah anak lahir, banyak peneliti mengemukakan pula perlunya pemberian asah jauh sebelum anak dilahirkan, yaitu dengan memperdengarkan musik klasik serta berbicara dengan anak selama masih dalam kandungan. Pengasuhan anak oleh subtitusi ibu, baik yang paruh waktu (misalnya di tempat penitipan anak) maupun yang purna waktu (misalnya oleh pramusiwi) harus selalu memperhatikan hal-hal tersebut di atas, yaitu pada dasarnya agar asuh, asih, asah didapatkan anak dengan baik dan benar (Sunarwati, 2007).
Oleh karena itu, dalam pengasuhan anak ada empat hal yang harus dipenuhi, yaitu bahwa setiap anak membutuhkan orang tua, dan tumbuh secara alamiah dengan saudara kandung yang dimilikinya, di dalam rumah mereka sendiri dan di dalam lingkungan yang mendukungnya.
Diharapkan bahwa pengasuhan anak ini akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram, pounds, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan (Soethiningsih, 1995)

Menurut teori perkembangan psikososial Erikson ada empat tingkat perkembangan anak yaitu :
1. Usia anak 0 - 1 tahun yaitu trust versus mistrust. Pengasuhan dengan kasih sayang yang tulus dalam pemenuhan kebutuhan dasar bayi menimbulkan "trust" pada bayi terhadap lingkungannya. Apabila sebaliknya akan menimbulkan "mistrust" yaitu kecemasan dan kecurigaan terhadap lingkungan.
2. Usia 2 - 3 tahun, yaitu autonomy versus shame and doubt. Pengasuhan melalui dorongan untuk melakukan apa yang diinginkan anak, dan sesuai dengan waktu dan caranya sendiri dengan bimbingan orang tua atau pendidik yang bijaksana, maka anak akan mengembangkan kesadaran autonomy. Sebaliknya apabila pendidik tidak sabar, banyak melarang anak, akan menimbulkan sikap ragu-ragu pada anak. Hal ini dapat membuat anak merasa malu.
3. Usia 4 - 5 tahun, yaitu inisiative versus guilt, yaitu pengasuhan dengan memberi dorongan untuk bereksperimen dengan bebas dalam lingkungannya. Pendidik dan orang tua tidak menjawab langsung pertanyaan anak, maka mendorong anak untuk berinisiatif sebaliknya, bila anak selalu dihalangi, pertanyaan anak disepelekan, maka anak akan selalu merasa bersalah.
4. Usia 6 - 11 tahun, yaitu industry versus inferiority, bila anak dianggap sebagai "anak kecil" baik oleh orang tua, pendidik maupun lingkungannya, maka akan berkembang rasa rendah diri, dampaknya anak kurang suka melakukan tugas-tugas yang bersifat intelektual dan kurang percaya diri.

Teori lainnya yang berkaitan dengan perkembangan kognitif, yaitu Piaget menyebutkan bahwa ada tiga tahapan perkembangan kognitif anak, yaitu :
1. Tahap sensorimotorik (usia 0 - 2 tahun). Pada tahap ini anak mendapatkan pengalaman dari tubuh dan indranya.
2. Tahap praoperasional. Anak berusaha menguasai simbol-simbol (kata-kata) dan mampu mengungkapkan pengalamannya, meskipun tidak logis (pra-logis). Pada saat ini anak bersifat egosentris, yaitu melihat sesuatu dari dirinya (perception centration), dengan melihat sesuatu dari satu ciri, sedangkan ciri lainnya diabaikan.
3. Tahap operasional kongkrit. Pada tahap ini anak memahami dan berpikir yang bersifat kongkret belum abstrak.
4. Tahap operasional formal. Pada tahap ini anak mampu berpikir abstrak.
Berkaitan dengan anak-anak, beberapa anak ditemukan memiliki kerentanan untuk menghadapi perubahan atau tekanan yang mereka hadapi.Akan tetapi, tidak jarang pula, orang tua atau pendidik mengeluhkan anak-anak memerlukan penyesuaian diri yang lama terhadap situasi baru, atau anak yang trauma dengan pengalaman negatif, seperti kehilangan sahabat, pindah rumah, nyaris tenggelam di kolam renang, atau menjadi korban bencana alam seperti gempa (Ilham, 2007).

*) re-load tulisan lama dari blog. PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) tgl. 17 juni 2008 untuk judul yang sama.
(salam, Widya)

Senin, 18 Juni 2012

MENINGKATKAN KINERJA OTAK MELALUI BRAINDANCE


Otak manusia memiliki cara kerja yang kompleks dan unik, menerima, memproses, menyimpan dan menggunakan kembali informasi dengan cara yang unik. Otak terdiri atas milyaran sel saraf yang memiliki fungsi penting dalam kehidupan sejak manusia diciptkan.  Keunikan otak dan cara kerjanya telah menjadi perhatian yang luar biasa dan banyak sekali penemuan spektakuler mengenai otak.
Sepanjang kehidupan manusia, kinerja otak dapat terus ditingkatkan, terutama dengan telah ditemukannya plastisitas otak. Kinerja otak dapat ditingkatkan melalui stimulasi yang tepat. Salah satu bentuk stimulasi adalah melalui braindance.

Braindance merupakan gerakan yang mengutamakan kelenturan, yang dapat digunakan untuk anak usia dini. Rangkaian stimulasi gerak braindance bertujuan untuk merangsang struktur otak yang akan membantu mengoptimalkan fungsi otak dengan gerak yang dinamis dan harmonis dengan ekspresi dan imajinasi untuk membangun dan mengoptimalkan gerakan fundamental menuju kesiapan anak untuk belajar.

Secara umum, braindance antara lain berfungsi untuk :
a.    Meningkatkan kesehatan dan kebugaran
b.    Meningkatkan keseimbangan anggota gerak
c.     Mengoptimalkan perkembangan persyarafan
d.    Mengoptimalkan fungsi otak

Gerakan braindance sesuai dengan anak usia dini, terutama untuk meningkatkan kinerja otak yang sedang dalam proses perkembangan dan memerlukan stimulasi yang tepat sehingga siap belajar. Oleh karena itu, gerakan tersebut dapat diberikan kepada anak usia dini sebagai salah satu ragam kegiatan untuk meningkatkan kesiagaan otak anak.
( Salam, Widya )

Kamis, 14 Juni 2012

KITA ADALAH MANUSIA WHOLE BRAIN


Istilah otak kanan dan otak kiri pertama kali dipopulerkan oleh seorang guru besar dari Universitas California di era 1950-an, yakni Roger Sperry. Berkat temuan ini, ia meraih nobel di bidang otak. Roger meminta para pelajar yang menjadi subyek penelitiannya untuk melakukan beberapa tugas mental, seperti melamun, menghitung, membaca, menggambar, bercerita, menulis, mewarnai dan mendengarkan musik. Di sela-sela kesibukan mengamati mereka, Roger mengukur gelombang otak subyek penelitian (Gunawan, 2003).

Hasil pengukuran gelombang otak sungguh mengejutkan. Pada umumnya, korteks serebral membagi tugas otak ke dalam dua kategori utama, yaitu kiri dan kanan. Tugas otak sebelah kanan (right cerebral hemisphere) meliputi irama, kesadaran ruang, imajinasi, melamun, warna dan dimensi. Otak kanan meruapakan bagian otak yang berpikir secara afektif dan relasional, memiliki karakter kualitatif, impulsif, spiritual, holistik, emosional, artistik, kreatif, subyektif, simbolis, imajinatif, simultan, intuitif dan mengontrol gerak motorik tubuh sebelah kiri.

Tugas otak sebelah kiri (left cerebral hemisphere) mencakup kata-kata, logika, angka, urutan, garis, analisis dan daftar. Bagian ini memiliki karakteristik khas yang bersifat logis, matematis, analitis, realistis, vertikal, kuantitatif, intelektual, obyektif dan mengontrol sistem motorik bagian tubuh kanan.

Meskipun terdapat perbedaan dalam dominasi kerja, ketika bekerja, seluruh bagian otak teraktifkan, sehingga manusia sesungguhnya merupakan individu yang “whole brain” atau menggunakan keseluruhan bagian otaknya. Dengan demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa ada manusia yang berotak kanan atau berotak kiri, karena keseluruhan bagian otak teraktifkan ketika terdapat stimulasi.
(salam, Widya)

Selasa, 12 Juni 2012

MENGIMPLEMENTASIKAN NILAI-NILAI KARAKTER


1.    Keteladanan
Keteladanan merupakan kunci utama dalam pendidikan karakter. Anak usia dini belajar melalui melihat, mendengar dan melakukan. Apa yang didengar dan dilihat oleh anak, itulah yang akan dicontoh untuk dilakukan. Dengan demikian, orang dewasa yang ada di sekitar anak hendaknya menunjukkan karakter mulia yang dapat diteladani oleh anak. Pendidikan karakter tidak dapat dilakukan dengan hanya diceritakan dalam kelas, sementara dalam kehidupan nyata anak melihat dunia yang carut marut, misalnya perilaku tidak disiplin,  verbal orang dewasa yang tidak baik seperti berkata kasar, tidak jujur. Hal-hal yang dilakukan oleh orang dewasa merupakan bentuk pembelajaran yang sangat efektif bagi anak usia dini.

2.    Pembiasaan
Pada usia dini,  anak memilki kapasitas belajar yang besar untuk belajar selain itu anak merupakan sebagai sosok yang mampu memecahkan  masalah sendiri secara aktif (active problem solver), serta memiliki cara sendiri untuk memahami dunia (Bruner.J, dalam Palmer, J.A., 2001). Melalui kapasitas belajarnya anak membangun pondasi dan ikatan intelektual yang kuat sebagai dasar pemahamannya tentang nilai-nilai kehidupan.
Dengan demikian, pembiasaan yang diberikan sejak usia  dini melalui aktivitas keseharian dalam keluarga dan lingkungan menjadi akar yang kokoh untuk bertumbuh dan berkembangnya nilai-nilai kehidupan dalam konteks etika, moral dan sosial-emosional. Begitu pula ketika anak mulai menginjak pendidikan pra sekolah, diharapkan mereka dapat belajar dan menguasai berbagai keterampilan dasar dalam membangun sikap, perilaku dan hubungan antar sesama. Aktivitas apapun yang dilakukan anak dapat dimuati oleh nilai-nilai yang tertanam secara menyenangkan, menghibur dan memberikan kebebasan anak untuk menjelahi relung-relung dimensi kehidupan. Penanaman nilai–nilai kehidupan dapat dilakukan dengan mudah, karena pada dasarnya manusia diciptakan dengan seperangkat potensi untuk tumbuh menjadi baik dan survive/mampu bertahan dalam kehidupan.

3.    Pola asuh yang tepat
Pengasuhan yang tepat sesuai karakteristik, kebutuhan dan potensi  anak secara tidak langsung akan membangun karakter-karakter positif. Sebaliknya pengasuhan yang salah akan memunculkan serangkaian sikap dan perilaku  yang mereduksi nilai-nilai kebaikan dan menggerus optimalisasi tumbuh kembang kehakikian karakter-karakter positif  manusia.

(salam, Widya)

SESUNGGUHNYA, MANUSIA DICIPTAKAN DENGAN KESANTUNAN LUAR BIASA


Kita kerapkali mendengar, bahkan menyaksikan berbagai peristiwa di masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter. Salah satunya adalah kesantunan. Kita sering melihat kurang santunnya banyak pengguna jalan raya, saling menyerobot, kebut-kebutan, bahkan sampai pada tindakan saling memaki hanya karena menganggap pengemudi lain bertindak tidak sopan, yang berujung pada timbulnya kericuhan atau kecelakaan yang membahayakan keselamatan pengguna jalan.

Betapa banyak orang yang beradu bicara, bahkan sampai beradu otot, hanya untuk hal-hal yang sesungguhnya bisa diselesaikan. Di dalam sebuah pertemuan, tidak jarang perdebatan menjadi pertengkaran yang berujung pada kekacauan. Tidak ada lagi penghormatan terhadap budaya untuk saling mendengar, memahami dan mengerti.

Kesantunan sepertinya mulai terkikis, dan yang terjadi adalah kelunturan nilai-nilai luhur yang dijunjung oleh bangsa ini. Sesungguhnyan kesantunan terkait erat dengan perkembangan moral seseorang. Seorang ahli perkembangan moral, Kolhberg, mengemukakan bahwa terdapat tiga tahap perkembangan moral, yaitu pra-conventional, conventional dan post conventional. Ketidaksantunan merupakan cerminan tahap perkembangan moral pra-conventional, yang setara dengan anak usia 0 – 8 tahun. Kalau sudah demikian, apakah hal ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat berada pada tahap belum dewasa, meskipun dari segi usia kronologis mungkin sudah sangat matang?

Sesungguhnya, kita dapat belajar kesantunan dari tubuh kita sendiri. Ketika sel-sel tubuh mulai berkembang, mereka menempatkan diri sesuai dengan fitrahnya masing-masing, meskipun sesungguhnya secara umum komposisi sel-sel tubuh tersebut hampir sama. Sel-sel tubuh yang mendapatkan tugas berkembang menjadi sel-sel rambut tidak pernah berkeinginan menjadi sel-sel jantung, demikian pula sel-sel  tubuh yang lain. Ketika menjalankan fungsinya, sel-sel tubuh  saling mendukung, menciptakan suasana yang kondusif, bekerja dalam sebuah sistem harmonis, menciptakan simponi kehidupan, sehingga seluruh bagian tubuh berfungsi sebagaimana mestinya.

Tidak ada sel tubuh yang menyombongkan diri atas kemampuan yang dimilikinya, tidak ada yang memiliki rasa iri, ingin menang sendiri ataupun ingin menunjukkan jasa-jasanya. Ketika ada benda asing yang memasuki tubuh, sel-sel tubuh yang bertanggung jawab atas pertahanan diri berusaha mengenali benda asing tersebut dengan baik sebelum bertindak. Sel-sel tubuh tidak bertindak semena-mena tetapi penuh kehati-hatian dan pertimbangan. Ketika ada sel-sel tubuh yang diserang penyakit, sel-sel tubuh yang lain membangun pertahanan tubuh agar sel-sel yang sakit kembali normal dan tubuh sehat kembali. Sungguh sebuah masyarakat sel yang damai.

Tubuh kita adalah cerminan masyarakat yang santun dan saling mendukung. Ini adalah teladan yang luar biasa. Lalu, mengapa kita tidak meneladani diri kita sendiri dan mengubahnya menjadi individu yang berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh sel-sel tubuh kita?
(salam, Widya)

Senin, 11 Juni 2012

BELAJAR, BELAJAR, BELAJAR


Rasa ingin tahu akan membuat kita belajar. Belajar untuk mencari tahu, memahami dan mendapatkan lebih banyak pengalaman dan keterampilan. Semakin banyak kita belajar, maka semakin banyak yang TIDAK KITA KETAHUI. Pada saat itulah sesungguhnya kita benar-benar memahami tentang diri kita.

Tidak ada individu yang mengetahui segala hal, seberapa pun tinggi pendidikan yang telah dicapai, seberapa pun banyak pengalaman yang telah didapatkan. Ilmu Allah Maha Luas, sehingga tidak akan pernah mampu dikuasai oleh manusia, meski sepanjang kehidupannya dia terus berusaha.

Oleh karena itulah, kita diwajibkan untuk belajar, belajar dan belajar, tiada henti.Proses belajar inilah yang akan menjadikan individu lebih matang, dewasa dan memiliki integritas ketika menjalankan perannya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.

Belajar dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Kita dapat belajar melalui membaca tiada lelah, berdiskusi secara positif, mengamati berbagai fenomena, mendengarkan orang lain dengan seksama, ataupun dengan cara-cara yang lain. Yang penting adalah, ketika kita belajar maka pikiran positif dan terbukalah yang perlu dimiliki.

Ketika kita berikiran positif, kita akan mampu menerima, memproses dan menggunakan kembali informasi dengan sangat baik. Di samping itu, pikiran positif mampu membangkitkan energi positif yang dapat menciptakan  suasana kondusif untuk belajar, tidak hanya untuk diri pribadi, tetapi juga untuk orang lain. Pikiran positif dapat menjadi “penyakit menular” yang akan menjalar pada orang lain di sekeliling kita, demikian pula sebaliknya.

Pikiran yang terbuka akan membuat kita memiliki wawasan yang luas dan sudut pandang yang berbeda-beda dalam menghadapi berbagi hal atau situasi. Pikiran terbuka juga mampu membangkitkan endorfin yang dapat menyebar pada orang-orang yang berada di sekeliling kita. Pikiran yang terbuka akan melahirkan ide-ide kreatif yang berguna bagi orang lain dan diri sendiri.

Jadi, pikiran positif dan terbuka merupakan prasyarat untuk belajar, dan belajar terjadi di sepanjang kehidupan kita. Ketika kita telah belajar, belajar dan belajar, barulah tiba saatnya kita melakukan “transfer of knowlegde”. “Transfer of knowledge” kepada orang lain memerlukan bekal yang cukup, agar apa yang kita transfer atau sampaikan adalah hal yang benar adanya. Pepatah mengatakan bahwa bila kita mengetahui sesuatu dengan baik dan benar, maka sampaikanlah, tetapi bila kita tidak mengetahui atau menguasainya, maka sebaiknyalah kita diam, agar kita tidak menyampaikan hal yang keliru, karena kekeliruan tersebut akan menimbulkan kekeliruan lainnya yang lebih besar lagi. Kekeliruan ini akan menjadi tanggung jawab moral kita hingga kita dapat memperbaikinya.

Pertanyaannya adalah “Sanggupkah kita untuk selalu belajar, belajar dan belajar, sementara mungkin kita sudah menganggap bahwa apa yang kita miliki sudah cukup atau bahkan lebih dari cukup?”
(Salam, Widya)

Terima Kasih Atas Segala Cintamu, Ya Rabb


Allah SWT memberikan kehidupan bagi manusia untuk selalu disyukuri, karena Allah SWT memberikannya dengan cinta. Akan tetapi, berapa banyak dari kita yang jarang atau bahkan tidak pernah mensyukuri karuniaNya.

Kita dapat menghirup oksigen dengan gratis, melalui hidung yang telah diberikan dengan gratis pula oleh Sang Pemberi Hidup. Kita dapat menatap indahnya rembulan dengan mata yang diberikan secara gratis oleh Sang Pemberi Nikmat. Kita dapat berjalan, berlari, dengan kaki yang telah diberikan oleh Sang Pencipta.

Namun, banyak di antara kita menjalani kehidupan dengan mengeluh. Di tempat kerja kita mengeluh dengan banyaknya beban tugas, tidak sesuainya imbalan/penghargaan, kurangnya diberi kepercayaan, suasana kantor yang tidak nyaman, pembagian kerja yang tidak seimbang, kesuksesan rekan kerja, dan sebagainya, sehingga tercipta nuansa negatif bagi diri kita dan lingkungan kita. Di jalan kita mengeluh. Mengeluh atas kemacetan, jalanan yang panas, berdebu, suara klakson kendaraan lain yang tiada berhenti, mogoknya kendaraan. Di rumah kita juga mengeluh. Mengeluh atas kreativitas anak-anak kita, tetangga kita, kebisingan di sekeliling, jauhnya dari fasilitas umum, dan yang lainnya.

Setiap saat kita mengeluh, sehingga berubah menjadi energi negatif yang sangat berpengaruh terhadap diri pribadi, baik secara fisik maupun psikis. Energi negatif inilah yang dapat menjadi salah satu sumber penyakit kita, sehingga tumbuh menjadi manusia yang tidak sehat dan tidak produktif. Energi negatif tersebut akan melemahkan pertahanan diri kita, menurunkan kewaspadaan otak dan kebugaran tubuh.

Daripada sepanjang waktu kita mengeluh, akan lebih baik apabila kita selalu bersyukur. Rasa syukur inilah yang akan mengalirkan energi positif. Energi positif memiliki daya yang luar biasa untuk meningkatkan stamina dan kesehatan fisik serta mental, sehingga kita tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, prima dan produktif. Telah banyak penelitian yang mendukung hal tersebut.

Jadi, mana yang akan kita pilih? Menjadi sehat lahir batin atau menjadi individu yang sakit lahir dan batin sepanjang masa?
(salam, Widya)

AYAH DAN PENGASUHAN ANAK


Pengasuhan, perawatan dan pendidikan anak sering diidentikkan dengan peran seorang ibu, sehingga jarang sekali ayah turut mengambil bagian dalam tugas-tugas tersebut. Tidak turutnya ayah dalam peran tersebut dibangun atas dasar budaya bahwa seorang ayah adalah tulang punggung keluarga, yang harus mencari nafkah di luar rumah, sehingga jarang berinteraksi dengan anak, dan ketika berada di rumah sudah dalam kondisi yang cukup lelah. Sementara itu, tugas pengasuhan, perawatan dan pendidikan anak lebih berkaitan dengan peran-peran domestik, yang secara budaya lebih banyak dilakukan oleh ibu. Orangtua sesungguhnya tidaklah lengkap ketika kehadiran ayah belum atau jarang dirasakan oleh anak.

Namun, pada saat ini telah terjadi pergeseran peran antara ayah dan ibu. Di masyarakat kita, sudah banyak ayah yang mengambil peran dalam pengasuhan, perawatan dan pendidikan anak. Telah banyak ayah yang meluangkan waktu untuk bermain dan berkomunikasi lebih intensif dengan anak. Beberapa penelitian juga telah menunjukkan bahwa peran ayah yang memadai dapat meningkatkan prestasi, rasa percaya diri dan motivasi anak untuk belajar. Dengan demikian, turut sertanya seorang ayah dalam hal ini menjadi luar biasa penting, dibanding “hanya” sebagai pencari nafkah.

Torehan tinta emas dalam hati anak karena kehadiran seorang ayah jauh lebih indah dibanding hanya “cucuran keringat” tanpa adanya interaksi yang cukup antara ayah dan anak. Hanya saja, seringkali seorang ayah cukup kebingungan atau kikuk ketika berhadapan dengan anak, apalagi apabila semasa kecil tidak berada dalam keluarga dengan figur ayah yang hangat dalam berinteraksi, komunikatif. Hal ini membuat seorang ayah tidak pernah mendapatkan contoh bagaimana menjadi ayah yang dekat di hati anak.

Namun demikian, seorang ayah adalah manusia. Manusia tidak pernah berhenti belajar, dan bahkan belajar menjadi ayah sejati. Untuk itu, marilah kita datangi anak kita dengan cinta, dan cinta sejati hadir dari hati seorang ayah dan ibu. Peluk, cium dan katakan ‘aku sayang kamu’ kepada anak-anak kita, sebelum terlambat, dan sebelum mereka mengatakan, “ayahku tidak pernah mengatakan bahwa dia sayang padaku, jadi aku tidak tahu, apakah dia benar-benar sayang padaku”.   

(salam, Widya)

Kamis, 07 Juni 2012

Faktor yang Mempengaruhi Karakter


Karakter anak usia dini sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat anak hidup, tumbuh dan berkembang. Hal ini sejalan dengan teori ekologi menekankan pengaruh lingkungan dan merupakan pandangan sosiokultural mengenai perkembangan, yang terdiri dari lima sistem lingkungan, mulai dari masukan interaksi langsung dengan agen sosial yang berkembang baik hingga agen kebudayaan yang bersifat luas. Kelima sistem tersebut meliputi  mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem, yang secara singkat diuraikan berikut ini (Santrock, 1995).

Mikrosistem merupakan setting tempat individu hidup. Konteks ini meliputi  lingkungan terdekat anak, tempat anak hidup, antara lain keluarga, sekolah, teman sebaya, guru dan lain-lain yang sehari-hari ditemui anak. Mikrosistem memiliki pengaruh langsung dan sangat besar dalam perkembangan anak. Hubungan yang terjadi dalam mikrosistem bersifat timbal balik atau dua arah. Orang dewasa mempengaruhi perilaku anak, tetapi anak secara biologis dan sosial mempengaruhi karakteristik perilaku orang dewasa (Collins et al., 2000; Crockenberg & Leerkes, 2003). Dengan demikian, anak tidak dipandang sebagai penerima pengalaman yang pasif dalam setting ini, tetapi seseorang yang turut menolong membangun setting (Santrock, 1995).

Mesosistem adalah interaksi antar faktor-faktor dalam sistem mikro yang meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau beberapa konteks seperti hubungan antara orangtua dan guru, orangtua dan teman, antar teman, dapat juga hubungan antara pengalaman sekolah dengan pengalaman keluarga, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan dan pengalaman keluarga dengan pengalaman teman sebaya. Sebagai contoh, anak dengan orangtua otoriter dapat mengalami kesulitan dalam  mengembangkan hubungan sosial, anak dengan orang tua yang menolak kehadiran mereka dapat mengalami kesulitan mengembangkan hubungan positif dengan guru (Santrock, 1995; Berk, 2006).

Ekosistem dalam teori Bronfenbrenner dilibatkan ketika pengalaman-pengalaman dalam setting sosial lain – yaitu individu tidak memiliki peran yang aktif – mempengaruhi hal-hal yang dialami individu dalam konteks yang dekat. Misalnya, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan antara ibu, ayah dan anak. Dengan demikian, eksosistem tidak langsung menyentuh pribadi anak akan tetapi masih besar pengaruhnya. Sebagai contoh, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan antara seorang perempuan dengan suami dan anaknya (Santrock, 1995).

Makrosistem meliputi kebudayaan tempat individu hidup. Kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat istiadat, budaya, dan lain-lain.
Kronosistem meliputi pembentukan pola atas sejumlah peristiwa sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan sosiohistoris. Sebagai contoh, dalam mempelajari dampak perceraian terhadap anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah perceraian.

Interaksi anak dengan kelima sistem lingkungan digambarkan sebagai berikut.


(Salam, Widya)

MARI BELAJAR DARI BEBEK


Beberapa waktu yang lalu saya bepergian dan kebetulan menggunakan pesawat udara. Pagi hari (agar tidak tertinggal pesawat) saya sudah menuju bandara. Begitu sampai di bandara dan melewati petugas pemeriksaan, saya langsung menuju counter check in, dan berdiri di belakang garis batas untuk check in dan menunggu selesainya layanan pada calon penumpang yang ada di depan saya.  Saya belum juga dilayani, tiba-tiba seorang ibu berdiri di depan saya untuk mengantri. Saya terkejut dengan adanya adegan penyerobotan ini. Saya menepuk pundaknya, dan berkata, “Bu, mohon maaf, antrian ibu ada di belakang saya”. Beliaunya menoleh sambil berkata, “O, ibu sedang antri ya, saya kira kosong, kan jaraknya jauh. Maaf, ya?’ Dia kemudian mundur ke belakang saya. Tak lama kemudian, seorang bapak melakukan hal serupa, dan lagi-lagi saya menegurnya untuk mengantri dengan tertib.

Jarak antara saya dengan calon penumpang yang ada di depan saya memang agak jauh, sehingga terkesan ada ruang kosong, padahal sudah jelas garis batas antrian untuk check in. Saya bertanya pada diri saya, apakah kejadian ini timbul karena batas antrian memang tidak dipahami, ataukah kita terbiasa tidak tertib mengantri. Saya berpikir, mungkin hal kedua inilah yang terjadi. Sejak dini, kita tidak terbiasa antri dan lingkungan mendukung untuk timbulnya hal tersebut.

Hal ini juga sering kita jumpai di jalan raya. Adegan saling mendahului atau menyerobot merupakan pemandangan biasa kita jumpai dan menjadi bagian dari keseharian dan kebiasaan kita. Mungkinkan kita bisa mengubah hal tersebut untuk masyarakat yang lebih tertib? Semuanya berpulang pada diri kita masing-masing. Coba kita tengok binatang “bebek”. Mereka bisa antri dengan baik, mengapa kita tidak?
(Salam, Widya )

Selasa, 27 Maret 2012

MEMBANGUN MIMPI ANAK USIA DINI


Usia dini merupakan usia emas. Di usia inilah puncak perkembangan terjadi. Anak berkembang, membangun dirinya dan mimpi-mimpinya. Anak bermimpi untuk menjadi yang terbaik bagi lingkungan dan masyarakatnya. Untuk mencapai mimpinya, anak perlu lingkungan yang kondusif, yang memberikan ruang untuk bergerak, belajar dan bereksplorasi, mencari dan mengembangkan pengetahuan dan pengalaman baru.
Lingkungan yang kaya sangat membantu perkembangan anak pada berbagai aspek, antara lain kognitif, bahasa, sosial emosional, fisik motorik. Lingkungan yang kaya dapat dapat berupa :
A.        Lingkungan fisik
  1. Lingkungan yang luas sebagai tempat bermain. Lingkungan ini dapat berupa halaman, kebun, areal persawahan, pantai, dan sebagainya, yang terdekat dengan anak, tempat anak hidup dan bertumbuh
  2. Lingkungan yang menyediakan kesempatan anak untuk berekplorasi, sehingga anak dapat melakukan percobaan dan menemukan sesuatu yang baru. Misalnya, anak dapat mencampur berbagai warna sehingga menemukan warna yang baru, anak dapat membelah buah jeruk, sehingga mengetahui bagian-bagian yang ada di dalamnya, anak dapat mengamati biji yang sedang tumbuh lalu bertunas dan  menjadi kecambah
  3. Lingkungan yang membangun kreativitas anak, dengan berbagai macam bahan atau alat permainan, yang dapat dibuat sendiri oleh anak 
B.        Lingkungan nonfisik
1.    Lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga mampu membangun rasa percaya diri anak, penuh penghargaan, cinta dan perhatian, sehingga anak merasa dihargai,  mampu mengungkapkan pikiran, ide dan perasaannya
2.    Lingkungan yang memberikan keteladanan, sehingga anak tumbuh menjadi generasi yang bermartabat.

Lingkungan fisik dan non fisik yang aman dan nyaman memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Anak yang tumbuh dan berkembang secara optimal inilah yang mampu membangun mimpi-mimpi indah anak, membangkitkan  motivasi dan spirit untuk mewujudkannya di masa depan. Mimpi-mimpi inilah yang akan membawa anak-anak Indonesia menjadi generasi yang mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
Kesuksesan berawal dari mimpi. Ketika setiap anak bermimpi untuk sukses, maka kesuksesanlah yang akan diraih, demikian pula sebaliknya. Maka dari itu, peran orang dewasa di sekitar anaklah yang sangat penting. Bila orang dewasa mampu membangun mimpi indah, maka itulah yang akan terjadi. Kreativitas, inovasi, spirit, akan terbangun. Demikian pula sebaliknya. Mari kita dukung anak-anak kita membangun mimpi-mimpinya yang indah... mulai saat ini.
(salam, Widya)

Kamis, 01 Maret 2012

SATU JAM SAJA....


Sebagai orangtua, sudah barang tentu kita mengharapkan anak yang sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia, tangguh serta siap menapaki kehidupan masa depan. Inilah impian kita bersama, impian orangtua, masyarakat dan bangsa ini.

Namun demikian, sebagai orangtua  - tempat pertama dan utama bagi anak untuk belajar dan bertumbuh – kita sering melalaikan tanggung jawab kita atas pendidikan anak. Kita menyerahkan begitu saja pada lembaga pendidikan, seperti sekolah, kursus atau lembaga-lembaga lainnya.  Kita menuntut lembaga tersebut untuk membuat anak-anak kita pandai, cerdas, dan mulia.

Contoh sederhana yang sering kita lalaikan adalah menemani anak bermain dan belajar. Kita mengabaikan kebutuhan mereka untuk dekat dengan kita, karena berbagai alasan, seperti kesibukan kita dalam pekerjaan kantor, pekerjaan rumah tangga, atau urusan-urusan lainnya.

Kita sulit sekali  meluangkan waktu untuk anak kita, meski hanya SATU JAM SAJA. Satu jam yang sangat bermakna bagi anak-anak, sementara kita punya banyak waktu untuk “ngerumpi”, “kongkow-kongkow”, atau melakukan aktivitas lain bersama orang lain. Sungguh sangat ironis.

Kita menghadirkan anak-anak di dunia ini untuk kita sayangi, kita perhatikan, kita penuhi dan lindungi hak-haknya, tapi ternyata kita  banyak mengabaikan. Kedekatan bersama anak dibangun sejak dini, bukan dirajut ketika mereka dewasa. Ketika kedekatan ini tidak terbangun, maka akan muncul sekat-sekat dalam hubungan kita bersama anak-anak kelak ketika mereka dewasa.

Anak-anak tidak akan terus menjadi anak-anak. Mereka akan tumbuh dewasa, memiliki sayap-sayapnya sendiri untuk terbang menjauh dari kita. Bila kita tidak memiliki ikatan yang kuat, mereka akan terbang tinggi, jauh meninggalkan kita, sehingga kita akan menjadi orangtua yang kesepian di hari tua.

Anak-anak akan berkata (dalam hati, mungkin) : AYAH BUNDA TINGGALKAN AKU, KETIKA AKU MEMBUTUHKAN, MAKA ITULAH YANG TELAH AYAH BUNDA AJARKAN PADAKU. AKUPUN AKAN PERGI KETIKA AYAH BUNDA MEMERLUKANKU.

Tentu kita semua sebagai orangtua tidak mengharapkan hal yang demikian terjadi. Maka dari itu, inilah saatnya kita merengkuh mereka, memeluknya dalam kehangatan cinta kita, menyatakan bahwa kita mencintai dan menghargainya dalam setiap detik kehidupannya.

Jadi, luangkanlah waktu untuk anak-anak kita, mata air kehidupan. Satu jam saja dari dua puluh empat jam yang kita miliki dalam sehari, tentu bukan waktu yang lama (Hanya 4,167% dari waktu kita dalam sehari).
Satu jam saja untuk menemaninya bermain dan belajar, mendengarkan jiwa dan raganya yang sedang tumbuh dan berkembang. MARI KITA MULAI DARI DETIK INI..........
(Salam, Widya)

Rabu, 29 Februari 2012

Terima Kasih, Anakku.............


Anak memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi setiap orang dewasa yang berada di sekitarnya, terutama orangtua. Anak memberikan keteladanan yang bahkan sulit diwujudkan oleh orang dewasa. Coba kita amati dan cermati benar ketika kita bersama anak-anak. Mereka menampilkan perilaku yang apa adanya, sesuai dengan tugas perkembangan pada usianya masing-masing.

Anak-anak begitu jujur dan ekspresif dalam mengemukakan pendapatnya. Mereka apa adanya, tanpa ada kepentingan yang tersembunyi di balik setiap tutur kata maupun tindakannya, sementara kita sebagai orang dewasa, sulit sekali bertindak jujur, mengucapkan sesuatu apa adanya tanpa kepentingan tersembunyi berada di baliknya.

Anak-anak bergerak, berpikir dan berkreasi sepanjang waktu, sementara kita sebagai orang dewasa sering mengeluh karena terlalu banyak beban tanggung jawab, dan enggan  berkreasi untuk menghasilkan karya-karya besar yang berharga bagi lingkungan dan bahkan dunia.

Anak-anak senantiasa tersenyum, tertawa, dan riang gembira, sementara orang dewasa lebih banyak diam, mengeluh, menangis dan bersusah hati menghadapi kehidupan.

Anak-anak mudah melupakan masalah atau pertikaian dengan teman atau orang lain, sementara orang dewasa sering memendam dendam terhadap orang lain karena hal-hal sepele.

Anak-anak senantiasa mencari pengetahuan dan pengalaman baru. Eksplorasi adalah tantangan yang menyenangkan bagi setiap anak. Sementara itu, orang dewasa cenderung menyukai stabilitas atau zona nyaman, enggan menghadapi tantangan.

Banyak sekali pelajaran berharga yang dapat kita petik dari anak-anak kita. Yang menjadi pertanyaan adalah, siapkan kita meneladani mereka? Ataukah kita akan tetap terpaku pada keangkuhan dan keakuan kita sebagai orang dewasa. Atau memang benar pepatah jawa “Kebo nusu Gudhel..?”.. 
(salam, Widya)

KARENA KITA ADALAH BANGSA INDONESIA....


Karena kita bangsa Indonesia, maka kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang kaya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki nilai-nilai religius tinggi serta akhlak mulia, yang tercermin dari pola pikir, pola tindakan dan pola bahasa atau tutur kata.

Bangsa yang kaya adalah bangsa yang mandiri, sanggup hidup di atas kemampuannya sendiri, dan bahkan memberikan warna yang indah dalam percaturan dunia. Dengan demikian, diharapkan kita mampu mencetak anak-anak bangsa yang selalu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur.

Kita diharapkan melahirkan generasi yang memiliki kekayaan hati,  rasa empati, dan memaafkan yang tinggi, sehingga mampu mencegah timbulnya tindakan yang merugikan, baik bagi diri sendiri, masyarakat, maupun bangsa dan negara.

Karena kita adalah bangsa Indonesia, maka kita adalah bangsa yang merdeka, sehingga diharapkan akan melahirkan anak-anak yang merdeka. Merdeka dari kekerasan (fisik, verbal maupun emosi), merdeka dari keterbelakangan, merdeka untuk menuntut ilmu, merdeka untuk tampil mandiri dan disiplin, merdeka untuk bermain, bereksplorasi dan berpikir.

Karena kita adalah bangsa Indonesia, maka kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi kesantunan, sehingga anak-anak yang memiliki kesantunanlah yang ingin kita tumbuhkan. Anak-anak yang dapat menghargai dirinya, orang lain, masyarakat dan lingkungannya. Anak-anak yang akan selalu menghormati pendapat orang lain dan  menghargai hasil karya orang lain.

Karena kita adalah bangsa Indonesia, maka kitalah yang bertanggung jawab untuk menjaga dan menguatkan jati diri bangsa.

Sudahkah kita berperilaku sebagai bangsa Indonesia yang berakhlak mulia?

Selasa, 28 Februari 2012

TERIMA KASIH, BUNDA PAUD


Beberapa hari yang lalu saya berkeliling di beberapa Pos PAUD, beberapa diantaranya adalah Pos PAUD Terpencil di pelosok daerah di Jawa Timur, yang merupakan salah satu layanan pendidikan bagi anak usia 0 – 6 tahun. Pos PAUD merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap pentingnya pendidikan pada usia dini. Pos PAUD dikelola oleh para kader yang ada di daerah.

Saya melihat ketulusan yang begitu dalam dari bunda PAUD dalam mendidik anak, membelajarkan mereka agar siap menapaki masa depan. Mereka rela meluangkan waktu, sementara para orangtua sibuk bergelut dengan roda perekonomian, dan sering tidak terlalu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak.


Para bunda PAUD berjuang di kancah pendidikan, hanya berbekal keikhlasan dan semangat. Mereka rela menyediakan ruang-ruang kosong di rumah untuk kegiatan pembelajaran, atau berjuang mendapatkan ruang-ruang kosong di daerah mereka masing-masing (misalnya balai RW, balai desa, dan lain-lain) yang belum termanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran. Para bunda PAUD juga sering harus menyediakan bahan-bahan pembelajaran dari uang pribadi. Bahkan, ketika acara makan bersama, misalnya, para bunda PAUD berbagi dengan bunda  PAUD lainnya untuk membawa bahan-bahan makanan, misalnya beras, krupuk, lauk pauk, sayur, buah dan sebagainya. Sungguh sebuah perjuangan yang patut dihargai. Perjuangan yang  bersandarkan pada kemauan dan tekad yang keras untuk mencerdaskan anak bangsa. Mereka inilah yang patut mendapatkan gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” yang sesungguhnya.

Ketika digelar berbagai kegiatan peningkatan kompetensi, pelatihan misalnya, mereka sangat antuasias untuk mengikuti dan berburu ilmu, meski dari segi usia, banyak yang terbilang tidak muda lagi. Hal yang sangat patut kita contoh, terutama bagi generasi muda.

Acungan jempol dan ucapan terima kasih yang tiada terhingga layak diterima oleh bunda PAUD, meski mereka tak berharap hal tersebut. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal, hingga kelak menjadi generasi yang berakhlak mulia lah yang diharapkan dari kerja keras mendidik anak usia dini.

Sekali lagi, terima kasih, bunda PAUD.... Jasamu Tiada Tara..........

(Salam, Widya)

Sabtu, 25 Februari 2012

HATI-HATI, BUTA WARNA

Agaknya, kita harus mulai mewaspadai gangguan kronis yang melanda mata kita, yaitu buta warna, karena sebagian masyarakat kita ternyata terkena penyakit tersebut. Parahnya lagi, penyakit ini dapat menular kepada anak-anak.

Betapa tidak, ketika saya beberapa melalui perempatan jalan raya yang terdapat lampu lalu lintas, ternyata banyak orang yang tidak sabar dan menyerobot ketika lampu berwarna merah sebagai tanda untuk berhenti sejenak. Saya bertanya dalam hati, adakah masyarakat kita mengalami buta warna, sehingga tidak dapat membedakan warna merah, hijau dan kuning? Yang lebih parah lagi, perbuatan tersebut dilihat oleh anak-anak. Mereka mungkin berkata dalam hati, "kalau begitu, peraturan memang boleh dilanggar, karena banyk orang dewasa yang melakukannya". Sungguh, perilaku tersebut akan cepat menular kepada anak-anak, karena salah satu cara mereka belajar adalah dengan meniru.

Beberapa waktu yang lalu, saya juga melintasi jalan dengan rambu lalu lintas bertuliskan, "Belok Kiri Mengikuti Isyarat Lampu", namun ketika lampu lalu lintas berwarna merah, beberapa kendaraan juga dengan santai mengabaikan peringatan tersebut. "Waduh, kalau begitu, selain buta warna, buta huruf juga melanda sebagian masyarakat kita".

Tidak berhenti sampai di sini. Ketika saya melanjutkan perjalanan, ada tanda dilarang belok, dan ternyata beberapa kendaraan pun belok melalui jalan tersebut "Wah, ternyata tambah parah penyakitnya. Ada tambahan buta simbol atau buta tanda. Penyakit kronis plus komplikasi. Parah sekali".

Saya pikir, inilah saatnya kita mengoreksi diri, bila kita memimpikan lingkungan yang tertib, aman dan nyaman, serta generasi yang memiliki disiplin tinggi.

Sanggupkah kita?......?!?!?!?!?!
(Surabaya, 26 Pebruari 2012;  Salam, Widya)
   

Kamis, 23 Februari 2012

Membangun Karakter, Tugas Mulia yang Mendesak


Karakter mulia suatu bangsa hanya dapat terpelihara ketika masyarakat dalam bangsa tersebut melestarikannya. Salah satu cara untuk melestarikan adalah melalui pendidikan, yang dimulai dari pendidikan anak usia dini. Pada usia dini, terjadi proses pembentukan karakter, sehingga setiap orang dewasa hendaknya menunjukkan karakter mulia, karena anak usia dini belajar melalui melalui keteladanan dan pembiasaan. Orang dewasa yang memegang peranan penting adalah orangtua, baik orangtua kandung maupun orangtua “sosial” (dalam hal ini masyarakat, termasuk pendidik).
Karakter mulia merupakan implementasi nilai-nilai karakter luhur, yang diharapkan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bangsa yang berbudi luhur. Dalam pendidikan anak usia dini, terdapat 15 nilai karakter yang telah dikembangkan, yaitu:
1          1.       Kecintaan terhadap Tuhan YME
2          2.       Kejujuran
3          3.       Disiplin
4          4.      Toleransi dan cinta damai
5          5.       Percaya diri
6          6.       Mandiri
7          7.       Tolong menolong, kerjasama, dan gotong royong
8          8.       Hormat dan sopan santun
9          9.       Tanggung jawab
1          10.   Kerja keras
1          11.   Kepemimpinan dan keadilan
1          12.   Kreatif
1          13.   Rendah hati
1          14.   Peduli lingkungan
1          15.   Cinta bangsa dan tanah air
Agar nilai-nilai tersebut terinternalisasi pada diri anak, maka sudah seyogyanyalah kita sebagai orangtua menginternalisasikan terlebih dahulu nilai-nilai tersebut. Hal yang selanjutnya perlu kita renungkan adalah, sudahkan keseluruhan perilaku kita mencerminkan keseluruhan nilai-nilai tersebut? Apabila jawaban belum, sanggupkah kita mengubah diri kita, demi pembangunan karakter anak-anak kita dan menyelamatkan bangsa ini?
(Surabaya, 24 Pebruari 2012; Salam, Widya)