Anak adalah unik. Dalam
keunikannya, anak memiliki irama dan kecepatan perkembangan yang berbeda-beda.
Namun demikian, ada yang universal dalam
karakteristiknya, yaitu berpikir secara konkret. Dengan demikian, dalam proses
pendidikan, orangtua atau pendidik hendaknya bisa menghadirkan benda-benda
nyata yang dapat langsung dipelajari oleh anak dengan menggunakan seluruh panca
inderanya.
Mengingat karakteristik anak
tersebut, ada beberapa hal yang perlu kita, terutama dalam membelajarkan
hal-hal yang bersifat abstrak menjadi sesuatu yang konkret. Kita seringkali
kesulitan untuk menerjemahkan hal-hal abstrak tersebut, terutama ketika anak
sudah mulai berpikir kritis dan menanyakan berbagai konsep ketuhanan. Misalnya,
keberadaan Tuhan.
Kita kesulitan untuk memberikan
penjelasan konkrit mengenai hal tersebut. Ketika anak bertanya, “Tuhan ada
dimana?”, kita sering menjawab dengan’ “Tuhan ada di hati kita masing-masing”,
atau “Tuhan dekat dengan kita, bahkan sangat dekat”. Anak dengan pikiran kritisnya, kadang
melanjutkan dengan analisis, “Kalau begitu, Tuhan ada di hati setiap manusia?”,
dan kalau kita menjawab, ‘Ya”, maka anak dapat saja melanjutkan dengan
analisisnya, “Kalau begitu Tuhan banyak, ya, karena manusia kan banyak?”.
Pada akhirnya, kita semakin
kebingungan memberikan penjelasan konkret yang dapat diterima anak. Hal ini
perlu menjadi bahan kajian kita bersama, karena pengenalan dan penghayatan anak
usia dini terhadap nilai-nilai ketuhanan merupakan dasar bagi perkembangan
nilai-nilai moral dan agama. Semakin baik anak memahami nilai-nilai ketuhanan,
semakin baik pula perkembangan anak menyangkut hal-hal tersebut.
Yang menjadi pertanyaan
selanjutnya, apakah kita perlu mengembangkan sebuah kamus tentang terjemahan
hal-hal yang bersifat abstrak menjadi konkret untuk memudahkan proses transfer
informasi kepada anak usia dini?...
(Surabaya, 17 Pebruari 2012 ;
Salam, Widya)