Jumat, 17 Februari 2012

Anak Usia Dini Berpikir Konkret


Anak adalah unik. Dalam keunikannya, anak memiliki irama dan kecepatan perkembangan yang berbeda-beda. Namun demikian,  ada yang universal dalam karakteristiknya, yaitu berpikir secara konkret. Dengan demikian, dalam proses pendidikan, orangtua atau pendidik hendaknya bisa menghadirkan benda-benda nyata yang dapat langsung dipelajari oleh anak dengan menggunakan seluruh panca inderanya.
Mengingat karakteristik anak tersebut, ada beberapa hal yang perlu kita, terutama dalam membelajarkan hal-hal yang bersifat abstrak menjadi sesuatu yang konkret. Kita seringkali kesulitan untuk menerjemahkan hal-hal abstrak tersebut, terutama ketika anak sudah mulai berpikir kritis dan menanyakan berbagai konsep ketuhanan. Misalnya, keberadaan Tuhan.

Kita kesulitan untuk memberikan penjelasan konkrit mengenai hal tersebut. Ketika anak bertanya, “Tuhan ada dimana?”, kita sering menjawab dengan’ “Tuhan ada di hati kita masing-masing”, atau “Tuhan dekat dengan kita, bahkan sangat dekat”.  Anak dengan pikiran kritisnya, kadang melanjutkan dengan analisis, “Kalau begitu, Tuhan ada di hati setiap manusia?”, dan kalau kita menjawab, ‘Ya”, maka anak dapat saja melanjutkan dengan analisisnya, “Kalau begitu Tuhan banyak, ya, karena manusia kan banyak?”.

Pada akhirnya, kita semakin kebingungan memberikan penjelasan konkret yang dapat diterima anak. Hal ini perlu menjadi bahan kajian kita bersama, karena pengenalan dan penghayatan anak usia dini terhadap nilai-nilai ketuhanan merupakan dasar bagi perkembangan nilai-nilai moral dan agama. Semakin baik anak memahami nilai-nilai ketuhanan, semakin baik pula perkembangan anak menyangkut hal-hal tersebut.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah kita perlu mengembangkan sebuah kamus tentang terjemahan hal-hal yang bersifat abstrak menjadi konkret untuk memudahkan proses transfer informasi kepada anak usia dini?...
(Surabaya, 17 Pebruari 2012 ; Salam, Widya)

MEMBIASAKAN ANAK GEMAR MEMBACA


Kita sering sekali mendengar orangtua mengeluh tentang ketidaksukaan anak membaca, sehingga ketika di SD atau jenjang  pendidikan formal lanjut, anak-anak sulit sekali diajak membaca buku. Hal ini tentunya berawal dari pembiasaan sejak dini dan perilaku orangtua.
Perilaku orangtua memberikan kontribusi yang luar biasa bagi perkembangan kegemaran anak dalam membaca. Orangtua sering meminta anaknya untuk membaca buku, sementara orangtua tidak menunjukkan perilaku tersebut. Anak disuruh membaca, tetapi orangtua juga tidak mendampingi, tetapi melakukan aktivitas lain, misalnya menonton televisi (karena tayangan yang menarik), sehingga yang terjadi adalah anak akan meniru perilaku tersebut, yaitu “mendampingi orangtua menonton televisi”. Dengan demikian, ketika anak beranjak besar, kebiasaan tersebut berlanjut, sehingga anak tidak memiliki kegemaran untuk membaca.
Di sisi lain, orangtua juga tidak memiliki kegemaran membaca, sehingga tidak bisa menanamkan kecintaan anak terhadap buku. Kecintaan terhadap buku adalah dasar yang sangat penting untuk membaca.
Dengan demikian, orangtua memiliki peranan yang sangat penting dalam membiasakan anak untuk gemar membaca. Kita harus menjadi orangtua yang gemar membaca apabila mengharapkan putra putri yang gemar membaca. Putra putri yang gemar membaca diharapkan menjadi generasi yang berpikiran terbuka, berwawasan luas serta gemar mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat dan dunia.
(Surabaya 17 Pebruari 2012; Salam, Widya)