Kamis, 22 Desember 2011

Dimensi Kesehatan Anak

Kesehatan merupakan dambaan setiap orang, karena dengan kesehatan yang prima kita dapat melaksanakan berbagai aktivitas dengan baik. Oleh karena itu, banyak dilakukan agar tetap sehat. Sehat sempurna memiliki pengertian dan spektrum yang sangat luas serta senantiasa mengalami perkembangan. Dahulu kesehatan hanya dipandang dari sisi fisik (biologis), akan tetapi kemudian berkembang menjadi lebih luas lagi.
Menurut WHO, yang dimaksud dengan kesehatan adalah :
“A state of complete physical, mental, and social well being and not merely the absence of disease or infirmity”  (Suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan).
Senada dengan definisi WHO, kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan bahwa sehat adalah keadaan baik seluruh badan serta bagian-bagiannya (bebas dari rasa sakit) atau waras (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Menurut Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009, definisi kesehatan jauh lebih luas dan kompleks, yaitu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Bab 1 ketentuan umum pasal 1 butir 1). Jadi yang disebut sebagai sehat, bukan hanya tidak adanya penyakit atau rasa sakit pada individu atau terbatas pada kondisi fisik saja, tapi juga pada aspek kejiwaan atau psikologis, sosial dan produktivitas. 
Kesehatan merupakan hak dasar bagi setiap individu, termasuk anak. Anak yang sehat sempurna, baik dari aspek fisik, psikologis maupun sosial, diharapkan dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sehingga kelak menjadi generasi unggul yang siap menghadapi kompetisi global.
Kesehatan sosial berkaitan dengan interaksi antara anak dengan teman sebaya dan orang dewasa. Anak yang sehata secara sosial tidak mengalami kesulitan adaptasi atau penyesuaian sosial. Mereka dapat membangun dan mengembangkan hubungan positif serta mampu mengkomunikasikan ide/gagasan, pendapat, alasan atau pikiran-pikiran kritis lainnya.
Kesehatan fisik seorang anak tercermin dari pertumbuhan badan, ketiadaan penyakit atau kecacatan serta kemampuan pulih dari suatu penyakit. Anak yang memiliki kesehatan fisik baik memiliki pertumbuhan badan yang sesuai dengan usia, tidak mudah terserang penyakit, tidak mengalami kecacatan fisik serta mudah pulih dari penyakit. Anak tersebut memiliki aktivitas fisik dan kemampuan melakukan eksplorasi lingkungan yang aktif.
Pada aspek psikologis, ranah kesehatan anak mencakup kesesuaian antara perkembangan emosi, sosial, moral, kognitif dengan tugas perkembangan anak dalam setiap usia.
Ketiga aspek kesehatan tersebut saling mempengaruhi dan bersifat timbal balik, sehingga diharapkan anak memiliki kesehatan fisik, psikologis dan sosial yang prima. Dengan demikian, anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
(Surabaya 23 Desember 2011; Salam, Widya)

Kamis, 15 Desember 2011

Sepenggal catatan tentang : Kesantunan Sosial



Baru-baru ini saya mengikuti diskusi ilmiah di sebuah kampus ternama di kota Surabaya. Dalam diskusi tersebut, dihadirkan narasumber salah seorang pakar perkembangan anak, dan diikuti oleh peserta yang terdiri atas pemerhati anak serta para profesional yang berkaitan dengan perkembangan, pertumbuhan dan kesehatan anak. Secara khusus, diskusi tersebut membahas tentang anak-anak yang mengalami malnutrisi (salah gizi) dan penanganannya.

Sebagaimana diskusi biasanya, pasti ada peserta yang tidak atau kurang setuju dengan konsep yang disampaikan oleh pembicara. Akan tetapi, hal yang luar biasa adalah ketidaksetujuan ataupun sanggahan tersebut disajikan dalam kesantunan sikap, bahasa dan tingkah laku, sehingga tampak perilaku yang saling menghargai dan menghormati perbedaan. Di sana tidak nampak upaya untuk merendahkan atau menjatuhkan seseorang. Sungguh, sebuah kesantunan yang dibangun oleh masyarakat akademik, dengan mengedepankan toleransi dan keberadaban, serta tidak menunjukkan keangkuhan atas pengetahuan dan pengalaman individu, padahal para peserta yang hadir di dalam forum tersebut adalah orang-orang ternama, yang memiliki pengalaman, pengetahuan dan pemahaman luas, serta berpendidikan tinggi.

Kesantunan seperti ini apabila menular ke masyarakat yang lebih luas, dan setiap hari disaksikan oleh anak-anak kita yang sedang dalam proses mengembangkan karakter, pasti akan mampu mewujudkan masyarakat yang lebih beradab. Pembangunan kesantunan sosial pada dasarnya dimulai dari setiap individu. Pada hakekatnya, sesungguhnya manusia telah dibentuk menjadi manusia yang santun, yang dimulai dari tingkatan sel yang ada dalam tubuh manusia itu sendiri.

Coba kita kaji tubuh kita masing-masing dan mekanisme kerjanya. Setiap individu dibentuk dari 2 sel yang menyatu, yaitu ovum dan sperma. Sel yang menyatu ini kemudian membelah menjadi lebih banyak sel. Setiap sel baru, meski dengan komposisi yang sama, menjalankan fungsinya masing-masing. Sel yang bertanggung jawab atas pembentukan jantung membentuk jantung dengan sempurna hinggap mampu berdegub memompa darah tiada henti. Sel yang bertanggung jawab atas pembentukan mata, membentuk mata dengan sempurna, hingga dapat menyaksikan keindahan dunia sebagai ciptaan Allah SWT, demikian pula dengan sel-sel yang lainnya. Tidak ada sel yang ingin berubah fungsi. Sel pada kuku, tidak pernah ingin menjadi sel rambut, sel hidung tidak pernah ingin menjadi sel telinga.

Semua sel tubuh menerima dan menjalankan tugas serta fungsinya dengan penuh tanggung jawab. Sel-sel tubuh manusia pada bagian tertentu tidak pernah merasa iri terhadap tugas dan tanggung jawab sel-sel tubuh yang lainnya. Sel-sel rambut tidak pernah iri dengan sel-sel jantung yang penuh dengan aliran darah. Sel-sel pada saluran pembuangan, yang bertanggung jawab atas pembuangan kotoran, juga tidak pernah iri dengan sel-sel otak yang bertanggung jawab atas kecerdasan manusia, ataupun pada sel-sel rambut yang selalu disanjung hingga disebut sebagai mahkota. Sel-sel paru-paru, yang tidak pernah beristirahat sepanjang hidup manusia, tidak pernah iri dengan sel-sel mata, yang bisa beristirahat setiap saat. Semua sel bekerja sama, bahu membahu, saling menjaga, melindungi, menghormati dan menghargai, sesuai dengan fungsinya masing-masing, sehingga tubuh manusia dapat berfungsi dengan sempurna.

Kita hidup, sehat, dan dapat berkarya, karena sel-sel tubuh kita begitu santunnya dalam bekerja. Lalu, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, mengapa ketika kita hidup di masyarakat, kesantuan ini menjadi barang yang langka?

Kita sangat sulit menjaga lisan kita, hati kita, mata kita, pendengaran kita, pemikiran kita dan bahkan tingkah laku kita, padahal, tubuh kita sendiri telah mengajarkan hal tersebut. Inilah yang patut menjadi renungan kita semua, apabila kita berharap kesantunan menjadi karakter kepribadian kita dan anak cucu kita nantinya.  
(Surabaya, 16 Desember 2011; Salam, Widya)

Rabu, 14 Desember 2011

Kaitan antara Perkembangan Kognitif Anak dengan Kemampuan Anak dalam Merespons Kesulitan


Salah satu aspek kesehatan psikologis berkaitan dengan perkembangan kognitif. Dimensi perkembangan kognitif  berkaitan dengan daya nalar atau daya pikir anak yang berhubungan dengan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanfaatan kembali  informasi melalui proses memori (Santrock, 1995). Proses tersebut salah satunya berkaitan dengan kemampuan anak dalam memecahkan masalah, mengatasi konflik, dan berbagai kesulitan lainnya, yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.
Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa ada anak yang mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan namun ada pula yang pantang menyerah walaupun mengalami kesulitan atau kegagalan berkali-kali. Sebagai contoh anak yang sedang belajar menaiki sepeda. Ada anak yang ketika terjatuh bangkit lagi dan belajar lagi sampai bisa menaiki sepeda, akan tetapi ada pula yang menyerah dan bahkan takut untuk mencoba lagi ketika terjatuh dari sepeda. Pada saat bermain, ada anak yang mudah menyerah ketika mengalami kesulitan dalam memasang puzzle, namun ada pula yang terus mencoba hingga berhasil (Stolzt, 2000).
Di sisi lain, seiring dengan perkembangan jaman, anak dihadapkan pada berbagai kesulitan sejak masa kanak-kanak (childhood adversity)  mulai dari yang ringan hingga berat, misalnya child abuse, ketidakharmonisan keluarga, pola disiplin yang kurang atau tidak konsisten, child maltreatment, child trauma, dan childhood stressful events (Lumley, 2007; Diane, 2007).
Oleh karena itu, anak diharapkan memiliki respons yang baik terhadap berbagai kesulitan. Kemampuan merespons kesulitan apabila tertanam sejak dini akan menjadi sebuah kebiasaan atau perilaku menetap, yang akan terus dibawa kelak ketika anak menjadi remaja atau dewasa. Kemampuan menghadapi kesulitan yang baik merupakan dasar bagi terbentuknya pribadi tangguh. Syarif  (2009)  menyebutkan bahwa anak yang tangguh akan mampu mengontrol emosi dan membentuk tindakan yang mengubah kejadian penuh stres menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi diri. Dengan demikian, individu tersebut memiliki kepribadian tangguh dan dapat menjalani kehidupan  serta mengisinya dengan berbagai pengalaman yang menyenangkan. Hal ini diperkuat oleh Istono (1999) bahwa individu yang memiliki kepribadian tangguh akan lebih kuat dalam menghadapi berbagai kenyataan dan beradaptasi secara lebih efektif terhadap kejadian yang penuh dengan tekanan apabila dibandingkan dengan individu yang lemah.
Putri (2008) menyatakan bahwa individu yang berkepribadian tangguh memiliki tingkat keyakinan yang tinggi, dapat mempengaruhi dan mengendalikan berbagai peristiwa yang terjadi atas dirinya (control). Individu juga memiliki kecenderungan untuk melibatkan diri dalam aktivitas yang sedang dihadapi (commitment) dan memandang suatu perubahan yang terjadi sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri, bukan sebagai ancaman terhadap rasa aman (challenge). Tipe kepribadian tangguh memberikan konstelasi  yang menguntungkan bagi seseorang untuk mengatasi tekanan hidup sehingga menjadi pribadi yang  tahan banting.
Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa individu yang berkepribadian tangguh memiliki penyesuaian diri yang lebih efektif terhadap peristiwa yang menimbulkan stres. Penelitian yang dilakukan oleh Faridah (2004) membuktikan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepribadian tangguh dengan kecenderungan somatisasi (gangguan fisik yang diakibatkan oleh gangguan psikologis).  Semakin tinggi ketangguhan kepribadian seseorang, semakin rendah kecenderungan somatisasinya, demikian pula sebaliknya.
Penelitian serupa dilakukan oleh Yayasan Topeka dan rumah sakit Chestnut Lodge, Maryland, Amerika Serikat, pada tahun 1987,  mengenai kehidupan keluarga dengan ibu menderita paranoia skizopfrenik. Dua anak perempuan dari keluarga tersebut mengalami hal yang sama, tetapi seorang anak laki-lakinya sama sekali tidak menderita paranoia skizofrenik serta tidak terpengaruh kondisi tersebut. Anak laki-laki tersebut berhasil menyelesaikan pendidikan di universitas dan menjadi sarjana hukum yang brilian. Penelitian tersebut  juga mengungkapkan mengenai anak-anak yang berasal dari Pulau Kauai, Hawaii, sebuah kawasan perkebunan gula, yang pada tahun 50-an dikenal sebagai daerah miskin. Sebagian besar anak  yang tumbuh di lingkungan ini mengalami gangguan emosional dan pada usia 7 – 10 tahun mengidap kelainan psikologis, namun ternyata satu di antara 10 anak bisa tumbuh dengan baik, menempuh masa-masa sulit, mampu bertahan (survive), intelektualnya berkembang, mencapai karier di atas rata-rata, dan muncul sebagai sosok yang menonjol. Mereka inilah anak-anak tangguh yang mampu merespons kesulitan dengan baik.
Ada pula kisah dari negeri seberang, pada tahun 2007, mengenai anak tangguh dengan kemampuannya yang luar biasa untuk merespons kesulitan, bernama Zhang Da, berasal dari propinsi Zhejiang, Cina. Pada usia 10 tahun Zhang Da harus bergulat dengan kemiskinan, tetap bersekolah, merawat dan mengobati ayahnya yang lumpuh dan ditinggalkan oleh ibunya. Dia tidak menyerah dan memikul tanggung  jawab untuk melanjutkan kehidupannya dan ayahnya. Pada saat ini Zhang Da berusia 15 tahun  dan mendapatkan penghargaan dari pemerintah Cina sebagai anak luar biasa.
Di tanah air  juga terdapat kisah mengenai anak yang tangguh sebagaimana ditulis oleh Irfan (2010). Perempuan kecil bernama Sinar, berusia 6 tahun, tinggal di pedalaman hutan Polewali Mandar, Sulawesi Selatan. Selama bertahun-tahun Sinar harus mengurus dan merawat ibunya yang lumpuh, sementara ayahnya telah meninggalkannya sejak usia 4 tahun. Dia memikul tanggung jawab dengan semangat pantang menyerah dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, yaitu berada dalam hutan, rumah tidak layak huni, tanpa listrik, dan tanpa pendukung kehidupan lainnya yang memadai. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa anak tangguh mampu merespons berbagai kesulitan yang dialami pada masa kanak-kanak dengan baik.
Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa kesulitan pada masa kanak-kanak yang tidak dihadapi dengan baik memberikan dampak negatif terhadap perkembangan selanjutnya karena dapat mempengaruhi dan membahayakan kehidupan anak kelak dewasa (Harkness, 2002; Lumley, 2007; Pediatrics, 2008; Maunder, 2008). 
Para peneliti dari University College London pada tahun 2008 menyebutkan bahwa kesulitan pada masa kanak-kanak (childhood adversity) apabila tidak direspons dengan baik mengakibatkan timbulnya obesitas ketika dewasa dan meningkatkan risiko terjadinya diabetes tipe 2. Hal ini dipertegas oleh penelitian Foley (2004) yang meneliti hubungan antara kesulitan pada masa anak-anak (childhood adversity), tipe genotipe monoamine oksidase A dan perilaku menyimpang  pada anak laki-laki kembar usia 8 – 17 tahun, mendapatkan hasil bahwa kepribadian anak-anak yang bersifat antisosial berkaitan dengan pola asuh yang buruk disertai oleh kemampuan dalam menghadapi kesulitan yang rendah.
Kemampuan merespons kesulitan sesungguhnya terprogram dalam otak. Otak mampu membedakan antara individu yang memiliki kemampuan merespons kesulitan antara  yang tinggi dan rendah melalui bahan kimiawi yang dikeluarkan oleh tubuh. Bahan ini merembes ke seluruh tubuh, sehingga dapat berpengaruh pada tingkat seluler. Individu yang memliki kemampuan merespons kesulitan dengan baik adalah individu yang tangguh. Individu yang tangguh memiliki energi positif yang tinggi ketika mengalami kesulitan (Stolzt, 2000). Energi ini terus mengalir hingga tumbuh menjadi remaja dan dewasa.
Werner (1974) (Stolzt, 2000) menyatakan bahwa anak tangguh merupakan anak yang ulet serta perencana yang baik sehingga tumbuh menjadi orang yang mampu menyelesaikan masalah dan memanfaatkan peluang. Riset Werner juga menyebutkan bahwa anak yang ulet tersebut tumbuh menjadi generasi yang memiliki kesehatan baik.
Masa depan penuh dengan tantangan, peluang dan juga kesulitan. Oleh karena itu, diperlukan generasi tangguh yang dapat bertahan dalam setiap situasi, mampu menghadapi setiap kesulitan dengan baik, serta menjawab setiap tuntutan yang semakin tinggi dalam perkembangan global. Generasi tangguh dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dalam segala kondisi, tidak menjadi anak yang maladaptive, memiliki tingkat kesehatan fisik dan psikis yang baik, serta dapat menjadikan kesulitan sebagai tantangan dan peluang untuk maju dan berprestasi. Kemampuan untuk merespons kesulitan dan mengubahnya menjadi peluang inilah yang disebut sebagai adversity response (AR).

(Surabaya, 14 Desember 2011: Salam, Widya)

Jumat, 09 Desember 2011

Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini


Ketika bayi dilahirkan ke dunia, dia memerlukan interaksi dengan orang lain. Interaksi inilah dasar bagi perkembangan sosial emosional seorang anak. Ketika dia berinteraksi, berbagai pengetahuan dan pengalaman baru terbentuk dan dikuatkan. Anak memperkaya bahasa dan kemampuan komunikasinya berkat adanya interaksi sosial. Dalam perkembangannya, anak mempelajari  berbagai aturan, norma dan nilai, juga melalui interaksi sosial.

Interaksi sosial yang sehat dan positif membantu meningkatkan perkembangan sosial emosional yang baik. Ketika kita berbicara masalah sosial emosional, ada dua hal yang terlibat, yaitu hubungan sosial dan perkembangan emosi. Hubungan sosial menyangkut hubungan anak dengan orang lain di sekitarnya, termasuk orangtua, teman sebaya, saudara kandung ataupun orang dewasa lainnya. Anak perlu memiliki hubungan sosial yang luas sehingga mudah menyesuaikan diri. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan frekuensi bermain dengan teman sebaya. Interaksi anak dengan teman sebaya dapat mengurangi sifat egosentris anak, serta memahami berbagai aturan sosial.

Emosi merupakan suatu konseptualisasi yang sangat penting dalam ranah perkembangan anak. Mendefinisikan emosi tidaklah mudah, tetapi beberapa ahli menyatakan bahwa emosi merupakan perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya, terutama well being dirinya (Campos, 2004; Saarni, dkk, 2006).

Kemampuan pengendalian emosi sangatlah diperlukan dalam interaksi sosial, dan pada anak usia dini sedang dalam proses perkembangan, sehingga sering terlihat kecenderungan tidak stabil. Ketidakstabilan tersebut tampak dari ekspresi yang mudah dan cepat sekali berubah. Sebagai contoh, seorang anak dapat tertawa terbahak-bahak, padahal baru saja menangis meraung-raugn. Oleh karena itu, anak perlu dibekali kemampuan mengendalikan emosi melalui contoh yang baik serta pembiasaan sejak dini.

Contoh yang baik ini berasal dari orang yang ada di dekat anak, seperti orangtua, guru, saudara atau orang dewasa lain. Apabila anak dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki pengendalian emosi yang baik, maka dia akan memiliki kecenderungan pengendalian emosi yang baik, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, kita sebagai orang dewasa yang erat berinteraksi dengan anak hendaklah memiliki kematangan dalam pengendalian emosi, sehingga dapat menjadi contoh yang baik bagi anak-anak.
(Surabaya, 10 Desember 2011; Salam, Widya)

Rabu, 07 Desember 2011

Pengembangan Bahasa, Matematika dan Sains pada Anak Usia Dini



 Pengalaman awal seorang anak dimulai dengan bahasa dan stimulasi terhadap anak sangat erat dengan “kesadaran bahasa”, yaitu melalui interaksi verbal yang responsif, buku, cerita, lagu, dan permainan, yang ini mempengaruhi kemampuan anak dalam membaca dan menulis (Arnqist, 2000). Anak-anak “mempelajari bahasa melalui aktivitas sehari-hari” (Novick, 1999/2000, p.70).

Perkembangan bahasa atau komunikasi pada anak merupakan salah satu aspek dari tahapan perkembangan anak yang penting dan pemerolehan bahasa pada anak merupakan prestasi manusia yang paling hebat dan menakjubkan. Oleh sebab itulah hal ini mendapat perhatian besar dari para ahli. Pemerolehan bahasa telah ditelaah secara intensif sejak lama. Pada saat itu kita telah mempelajari banyak hal mengenai cara atau proses ketika anak berbicara, mengerti, dan menggunakan bahasa, tetapi sangat sedikit hal yang kita ketahui mengenai proses aktual perkembangan bahasa.

Bahasa merupakan alat untuk berpikir, mengekspresikan diri, dan melakukan komunikasi sosial. Bahasa memberikan kekuatan kepada anak untuk membangun hubungan, menyelesaikan masalah dan mengekspresikan perasaan (Novick, 1999/2000). Bahasa digunakan anak dalam berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang dilakukan untuk bertukar gagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa diekspresikan melalui bicara yang mengacu pada simbol verbal.

Penguasaan bahasa yang baik sangat penting bagi perkembangan anak, karena untuk mengembangkan kemampuan dalam pengorganisasian, klasifikasi, kategorisasi dan memahami konsep, anak harus  memiliki kosakata yang luas dan cukup, sehingga dapat mengekspresikan ide, pengetahuan dan pengalamannya dengan baik.

Penguasaan bahasa merupakan aspek yang sangat penting bagi anak untuk memulai pendidikan dasar (Eliason, 2008), sehingga harus diperhatikan secara serius sejak usia dini. Untuk mencapai optimalisasi perkembangan bahasa, hendaknya anak berada dalam lingkungan yang kaya bahasa dan keleluasaan untuk menyampaikan pendapat, ide, pengalaman, maupun ekspresi perasaan.

Di samping pengembangan bahasa, aspek lainnya adalah pengembangan kemampuan berpikir matematis. Kemampuan ini merupakan salah satu aspek penting dalam proses penyiapan anak usia dini dalam rangka memasuki jenjang pendidikan dasar. Oleh karena itu, perlu pembelajaran matematika yang berkualitas, yang sesungguhnya identik dengan tantangan dan kesenangan, bukan tekanan, dan hal ini lebih luas serta lebih mendalam dibanding sekedar penghitungan dan penambahan (Clements, 2001, p.270).  Pembelajaran matematika hendaknya merupakan proses yang menyenangkan bagi anak, sehingga memacu anak untuk dapat mengimplementasikannya dalam aspek-aspek lainnya.

Perkembangan dan pembelajaran matematika hendaknya dapat dilihat sebagaimana perkembangan keaksaraan, karena konsep matematika dikembangkan melalui latihan dan stimulasi yang tepat (Geist, 2001). Mengembangkan pemahaman mengenai matematika dapat dicapai dengan baik ketika anak dilatih untuk mengemukakan alasan, memecahkan masalah dan mengkomunikasikan ide-idenya kepada orang lain (Wood, 2001).

Di samping pengembangan bahasa dan matematika sebagaimana diuraikan di atas, aspek lainnya yang tidak kalah penting adalah sains. Hal ini terutama disebabkan oleh rasa ingin tahu pada anak yang sangat tinggi dan alami, sehingga pembelajaran sains sebaiknya dilakukan pada anak sejak dini (Buchanan dan Rios, 2004). Anak penuh dengan ketakjuban serta keinginan untuk mengeksplorasi dan mempelajari lingkungan di sekelilingnya. 

Setiap anak pada hampir setiap lingkungan  melakukan kegiatan sains pada sebagian besar waktunya, membangun pengalaman mengenai lingkungan sekitar dan mengembangkan teori tentang cara kerja, peristiwa dan proses yang ada di sekitar anak (Conezio dan French, 2002, p.12). Dengan dukungan dan bantuan dari pendidik, keingintahuan alami anak dapat diarahkan pada aktivitas penemuan dan eksplorasi (Conezio dan French, 2002). Ketika melakukan eksplorasi, anak mendapatkan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman baru, yang sangat berguna dalam memahami lingkungan sekitar serta mengembangkan kepekaan dan kepedulian anak.

Pengembangan bahasa, matematika dan sains diintegrasikan dalam kegiatan anak sehari-hari. Dengan demikian, anak dapat melakukan eksplorasi, menentukan aktivitas, dan mengembangkan potensinya. (Salam, Widya)


Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini




Pendidikan anak usia dini merupakan upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak usia 0 (sejak lahir) sampai dengan 6 tahun, agar tumbuh dan berkembang secara optimal, siap dalam memasuki jenjang pendidikan selanjutnya, serta menjadi manusia paripurna yang handal. Dengan demikian, kelak dapat tumbuh menjadi generasi yang tangguh, cerdas, beradab dan berakhlak mulia. Dalam upaya menyiapkan generasi unggul tersebut diperlukan stimulasi pendidikan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan, karakteristik, serta tahap perkembangan anak.
Dalam perkembangannya, anak memperoleh berbagai stimulasi pendidikan, dan salah satunya dilakukan di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD). Di lembaga PAUD anak belajar melalui bermain, sehingga suasana pembelajaran menyenangkan dan sesuai dengan dunia anak, yaitu bermain. Melalui pembelajaran yang menyenangkan anak dapat menyerap informasi sehingga mencapai tingkat perkembangan sesuai dengan usia, baik usia kronologis maupun usia mental anak.
Dengan demikian, fokus pembelajaran adalah anak, bukan pendidik, pengelola, orangtua, maupun pihak lain, sehingga pertimbangan utama dalam pemberian stimulasi adalah kepentingan terbaik anak. Kepentingan terbaik anak berarti mengedepankan optimalisasi seluruh potensi anak dengan memperhatikan karakteristik dan tahap pertumbuhan serta perkembangan.
Namun demikian, fenomena di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak lembaga PAUD yang tidak atau kurang tepat dalam memberikan stimulasi pendidikan, baik dalam hal materi, metode, tuntutan kompetensi anak, maupun suasana pembelajaran. Stimulasi pendidikan masih lebih banyak menonjolkan aspek kognitif, yang dalam implementasinya salah satunya adalah mengajarkan membaca, menulis dan berhitung dalam usia anak yang terlalu dini.
Pembelajaran membaca, menulis dan berhitung tersebut dalam pelaksanaannya seringkali kurang mempertimbangkan tingkat perkembangan anak dan metode yang sesuai dengan karakteristik anak serta erat dikaitkan dengan tuntutan kompetensi ketika memasuki jenjang pendidikan dasar. Di samping itu, pembelajaran tersebut dilaksanakan karena tuntutan orangtua, yaitu bahwa pembelajaran pada anak usia dini dikatakan berhasil apabila anak mampu membaca, menulis dan berhitung dengan lancar, tidak peduli seberapa dini usia anak. Pada akhirnya, anak sering dihadapkan pada suasana pembelajaran yang tidak atau kurang menyenangkan.
Oleh karena itu, perlu adanya perubahan mindset dalam pengembangan pendidikan anak usia dini. Pendidikan pada anak usia dini hendaknya ditujukan pada pengembangan seluruh aspek perkembangan, antara lain nilai-nilai agama dan moral, sosial emosional, kognitif, bahasa serta fisik, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.


Surabaya 7 Desember 2011
Salam, Widya

Selasa, 22 November 2011

MENYELAMATKAN GENERASI SEJAK DINI



Berbagai persoalan yang cukup mendasar tengah melanda negara kita, mulai dari bencana alam yang memang berada di luar jangkauan manusia sampai dengan dekadensi moral yang sebenarnya bisa dicegah. Persoalan ini tengah merambah seluruh pelosok negeri ini, tak terkecuali Kota Surabaya yang merupakan kota metropolitan terbesar kedua setelah Jakarta. Kita begitu miris setiap kali membaca koran atau mendengar dan melihat berita di media massa. Pabrik ektasi misalnya, ternyata banyak berada di tengah-tengah masyarakat yang  pada awalnya tak pernah kita duga. Generasi kita banyak yang terjebak dalam kehidupan narkoba, tindak kriminal, dan sebagainya. Ini merupakan indikator proses menuju pada kehancuran generasi, yang pada akhirnya akan dapat menghancurkan bangsa ini. 

Fenomena ini membuat kita tak pernah dapat tidur nyenyak setiap hari, terutama apabila mengingat bahwa putra-putri kita sedang berkembang dan berada di tengah-tengah masyarakat yang begitu sarat dengan persoalan. Ancaman kerusakan berada begitu dekat dengan mereka. Berbagai persoalan hidup yang semakin kompleks ini menuntut kemampuan individu untuk menghadapi dan memecahkan persolan ini sehingga dapat tetap bertahan dan berkembang. Maka dari itu, anak-anak kita perlu dibekali dengan kemampuan untuk itu sejak dini.

Mengapa demikian? Ini karena usia dini merupakan periode awal dari perkembangan setiap individu. Masa dini usia merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak. Periode emas ini sekaligus periode kritis bagi anak, karena perkembangan yang didapat pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pada periode berikutnya hingga masa dewasa.

Ahli psikologi perkembangan, Bredekamp, et all (1997:97) mengungkapkan bahwa pemberian pendidikan pada anak usia dini diakui sebagai periode yang sangat penting dalam membangun sumber daya manusia dan periode ini hanya datang sekali dalam kehidupan serta tidak dapat diulang lagi. Bekal yang diberikan pada usia ini meruipakan fondasi bagi kehidupannya kelak.

Salah satu bekal yang dapat kita berikan adalah memberikan pendidikan kecakapan hidup (life skills). Dengan bekal ini anak-anak dipersiapkan untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya yang kelak diharapkan dapat menjadi individu yang sukses, warga masyarakat dan warga negara yang berhasil serta makhluk Tuhan yang memiliki integritas, keimanan dan ketaqwaan.

Apakah sebenarnya kecakapan hidup itu? Kecakapan hidup merupakan sebuah bentuk kecakapan yang dapat menunjang kehidupan seorang manusia agar tetap survive dalam kondisi apapun, bahkan dapat selalu meningkatkan kualitas hidupnya. Kecakapan hidup bukan sekedar keterampilan yang diperlukan untuk bekerja, akan tetapi lebih dari itu. Dengan demikian, seseorang yang tidak bekerja pun tetap memerlukan kecakapan hidup, bahkan anak-anak yang baru lahir pun memerlukan kecakapan hidup sesuai dengan usianya.

Kecakapan hidup ini merupakan bekal yang sangat penting bagi seseorang untuk menjalani kehidupan, karena merupakan kecakapan yang dimiliki oleh seseorang untuk berani menghadapi dan memecahkan segala permasalahan kehidupan secara wajar tanpa adanya perasaan tertekan serta selalu aktif, proaktif dan kreatif dalam menjalani aktivitas hidupnya, sehingga setiap saat dan setiap waktu produktivitas seseorang senantiasa dalam kondisi prima.

Kecakapan hidup secara garis besar dapat dipilah menjadi kecakapan hidup generik atau umum (general life skills) dan kecakapan hidup spesifik (specific life skills), yang dapat dirinci sebagai berikut.
1.      Kecakapan hidup generik atau umum
a.       Kecakapan hidup personal untuk mengenal diri dan berpikir rasional
b.      Kecakapan sosial
2.      Kecakapan hidup spesifik  
a.       Kecakapan akademik, yaitu kemampuan untuk mengidentifikasi dan menemukan hubungan antar variabel, merumuskan hipotesis, dan merancang serta melaksanakan penelitian untuk membuktian suatu gagasan, ide atau untuk menjawab rasa ingin tahu
b.      Kecakapan vokasional

Kecakapan hidup yang bersifat umum diperlukan oleh siapa saja, dari segala lapisan usia, baik yang bekerja maupun yang tidak bekerja. Kecakapan hidup yang bersifat spesifik atau khusus diperlukan untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan yang bersifat khusus.

Kecakapan untuk mengenal diri merupakan kecakapan hidup untuk mengenal diri sendiri sebagai makhluk Tuhan, termasuk melakukan instropeksi diri dan memahami kekurangan serta kelebihan diri. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk mengelola emosi dalam menghadapi perubahan lingkungan. Kecakapan hidup ini sangat penting artinya untuk mengenali potensi diri guna aktualisasi diri selanjutnya.

Kecakapan berpikir rasional merupakan kecakapan untuk berpikir sebab akibat, baik dalam arti abstrak maupun konkret, termasuk di dalamnya untuk menemukan, menggali dan mengolah data menjadi sebuah informasi yang penting. Kecakapan hidup ini juga merupakan kecakapan untuk menghadapi serta memecahkan masalah dengan tepat tanpa adanya perasaan tertekan.  Kecakapan sosial merupakan kecakapan untuk berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan sosial, termasuk di dalamnya kemampuan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain. Oleh karena itu, kecakapan ini menuntut adanya pengembangan empati, sikap penuh pengertian, saling membantu dan  saling menghargai. Kecakapan akademik merupakan pengembangan kecakapan berpikir rasional, akan tetapi sudah menjurus pada hal-hal yang bersifat, akademik, ilmiah dan keilmuan. Kecakapan vokasional merupakan kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu di masyarakat.

Anak usia dini perlu dibekali dengan kecakapan hidup sejak sehingga siap dalam memasuki jenjang pendidikan dan tahap kehidupan selanjutnya. (Sby, 23 November 2011. Salam, Widya Ayu)

Contoh sederhana :
Apakah anda terbiasa menempatkan sepatu / sandal setelah dipakai di tempatnya (rak sepatu/sandal)?
Apakah anda terbiasa menaruh handuk pada tempatnya setelah mandi?
Apakah anda selalu terbiasa mendengarkan, atau bahkan terbiasa menyela pembicaraan?
Apakah anda selalu berbagi dalam semua hal?
Apakah anda  berani tampil kedepan dengan mengungkapan ide-ide baru?
Apakah anda selalu berdo’a sebelum/sesudah melakukan aktifitas?
Dan sebagainya..dan sebagainya?
 Coba anda ingat-ingat..kebiasaan mana yang telah anda lakukan sejak masih kecil hingga saat ini?.. itulah kecakapan hidup yang telah tertanam dalam alam bawah sadar  anda sejak  masih kecil.


Senin, 21 November 2011

ORIENTASI PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP PADA ANAK USIA DINI


Pendidikan kecakapan hidup pada anak usia dini paling tidak harus berorientasi pada tiga hal, yaitu :

1.      Pengembangan keterampilan
Pengembangan keterampilan adalah gabungan antara pengetahuan dan keterampilan fakultatif (seperti menggambar, mencoret, mewarna) dengan keterampilan sosial emosional untuk mengaplikasikan keterampilan fakultatif tersebut dalam sebuah perilaku perilaku tertentu.

2.      Penekanan terhadap kompetensi psikososial
WHO menyebutkan bahwa kompetensi psikososial dalam kecakapan hidup mencakup:
a.       Empati – kesadaran diri
Empati merupakan kemampuan untuk merasakan sesuatu yang dirasakan oleh orang lain. Dengan demikian anak mampu merasakan atau peka terhadap perasaan teman, orang tua, guru yang orang lain yang ada di sekitarnya. Kemampuan ini harus didukung oleh kemampuan untuk mengenal diri sendiri, mengenal kekurangan dan kelebihan diri, sehingga dapat mengenal orang lain dari sudut pandang orang lain.
b.      Komunikasi – hubungan interpersonal
Kemampuan berkomunikasi hendaknya dikembangkan sejak usia dini, karena merupakan proses pengembangan interaksi dengan orang lain sehingga pengembangannya harus dilakukan bersama-sama dengan kemampuan untuk melakukan hubungan interpersonal.
c.       Pengambilan keputusan – pemecahan masalah (problem solving)
Permasalahan yang pasti akan dihadapi oleh anak-anak kita di masa mendatang adalah banyaknya pilihan mengenai berbagai hal, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Maka dari itu anak-anak perlu kita bekali dengan kemampuan untuk mengambil atau menentukan pilihan yang terbaik. Untuk itulah mereka kita bekali dengan kecakapan pengambilan keputusan. Di samping itu, anak-anak juga akan menghadapi banyak permasalahan yang perlu dipecahkan, sehingga bekal kemampuan pemecahan masalah amatlah diperlukan.
d.      Berpikir kreatif – berpikir kritis
Berpikir kreatif sangat diperlukan dalam menghadapi segala situasi dan kondisi, terutama pada saat  menghadapi dan memecahkan masalah. Berpikir kreatif memberikan bekal kepada anak-anak untuk melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang tanpa merasa takut salah. Ini memberikan bekal bagi anak-anak untuk tetap bertahan. Demikian pula dengan pola pikir kritis. Kemampuan berpikir kritis memberikan bekal kepada anak-anak untuk dapat memilah yang benar dan salah serta yang relevan dan tidak.
e.       Mampu menanggulangi masalah-masalah emosional – mengatasi stres
Seringkali permasalahan bukan hanya berkaitan dengan logika, tetapi juga dengan emosi. Kematangan emosi anak-anak akan sangat membantu mereka dalam menanggulangi stres, sehingga kualitas hidup mereka tidak terganggu tetapi bahkan menjadi lebih baik.

3.      Adanya partisipasi aktif anak
Partisipasi aktif  ini dikembangkan terutama untuk menumbuhkan ketegaran mental emosional yang ditunjukkan dengan rasa percaya diri dan sikap untuk menghargai diri sendiri. Dengan demikian pendidikan kecakapan hidup tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif, tetapi juga mengembangkan sikap dan perilaku mereka.

Pendidikan kecakapan hidup dapat diberikan di keluarga ataupun lembaga pendidikan anak usia dini, misalnya di kelompok bermain, taman penitipan anak, taman-kanak-kanak, ataupun lembaga sejenis.
Melalui pendidikan kecakapan hidup pada usia dini diharapkan kelak anak akan lebih siap dalam menghadapi permasalahan di masyarakat, sehingga tidak akan terbawa arus, misalnya terjerat dalam kehidupan narkoba atau kehidupan yang bersifat destruktif lainnya, terutama di kota besar yang penuh dengan kompleksitas masalah ini. Dengan demikian generasi bangsa dan masa depan bangsa ini dapat terselamatkan. ( Sby, 22 November 2011 --Salam, Widya )

Kamis, 17 November 2011


Sepenggal Catatan Perjalanan-1
Perkembangan Motorik Anak

Yogya, Nopember 2011

Saya berkunjung ke lembaga PAUD ketika anak-anak baru saja datang. Wajah-wajah mereka yang cerah penuh kegembiraan memasuki halaman sekolah, bertegur sapa dengan teman-teman dan menyimpan barang bawaan di loker.

Beberapa saat kemudian, waktu memasuki kelas tiba. Anak-anak berbaris dalam lingkaran, bernyanyi, kemudian membentuk barisan kereta api dan masuk ke kelas masing-masing dengan didampingi oleh dua orang guru.

Anak-anak kemudian diajak duduk melingkar dan guru menanyakan kabar masing-masing anak hari itu, sambil mencatat jumlah kehadiran anak. Ternyata, pada hari itu, semua anak di kelompok TK B hadir. Setelah itu, guru mengajak anak-anak berdoa.

Setelah berdoa, anak-anak diajak melakukan kegiatan untuk meningkatkan keterampilan motorik kasar. Kegiatannya adalah bermain lempar bola. Sebelum melakukan bersama anak-anak, dua orang guru memberikan contoh cara melempar dan menangkap bola. Anak-anak bertepuk tangan sambil menyemangati kedua guru mereka yang sedang bermain lempar bola.

Setelah guru selesai memberi contoh, guru melempar bola kepada anak, yang sebelumnya dipanggil namanya agar bersiap-siap. Pada akhirnya, semua anak mendapatkan giliran melempar dan menerima bola. Ternyata, meskipun rata-rata usianya sama, tidak semua anak dapat melempar dan menerima bola dengan baik.

Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan motorik kasar anak berbeda-beda, sehingga setiap anak memerlukan stimulasi yang berbeda-beda.

Keterampilan  motorik kasar berkaitan dengan kemampuan anak untuk berjalan, berlari, melompat, meloncat. Keterampilan ini dapat ditingkatkan melalui berbagai aktivitas, antara lain bermain lempar bola, lompat tali, berjalan berjinjit, bersenam, ataupun aktivitas lain yang dapat dikembangkan bersama-sama anak.

Stimulasi yang tepat dapat meningkatkan kecakapan motorik kasar. Kecakapan motorik kasar yang baik membantu anak melakukan aktivitas sehari, terutama dalam melakukan eksplorasi lingkungan dan bersosialisasi.

Anak yang terbiasa melakukan kegiatan motorik kasar, memiliki stamina dan kesehatan yang baik, serta memiliki otot-otot tubuh dan tulang yang kuat. Anak yang sehat dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan usianya.

Oleh karena itu, kita sebagai orangtua hendaknya meluangkan waktu untuk melakukan berbagai aktivitas motorik kasar dengan anak, minimal 30 menit sehari. Selain meningkatkan kecakapan, kesehatan dan stamina anak, juga membangun hubungan emosional yang lebih erat dengan anak.

Jadi, mari kita bermain dengan anak-anak kita, karena mereka sangat memerlukan, demi kesehatan fisik, psikis dan sosial mereka.

(Salam, Widya Ayu)

Selasa, 15 November 2011


Beyond Centre and Circle Time

Repost dari blog http://paud-usia-dini.blogspot.com tgl. 16 Juni 2008 
Penulis : Widya Ayu Puspita., SKM., M.Kes

Bermain adalah dunia anak dan bukan hanya sekedar memberikan kesenangan, akan tetapi juga memiliki manfaat yang sangat besar bagi anak. Lewat kegiatan bermain yang positif, anak bisa menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi penginderaannya, menjelajahi dunia sekitarnya, dan mengenali lingkungan tempat ia tinggal termasuk mengenali dirinya sendiri.

Kemampuan fisik anak semakin terlatih, begitu pula dengan kemampuan kognitif dan kemampuannya untuk bersosialisasi. Dalam bahasa sederhana, bermain akan mengasah kecerdasannya.
Metode sentra dan lingkaran merupakan salah satu metode pembelajaran dalam pendidikan anak usia dini yang mengedepankan konsep bermain bagi anak, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya optimal. Dalam metode ini, alat-alat dan bahan-bahan main dikelompokkan dalam beberapa sentra sesuai dengan kebutuhan.

Sentra persiapan merupakan salah satu sentra yang mengasaha kemampuan kognitif dan motorik halus pada anak. Dengan demikian, saya menyambut baik kehadiran bahan belajar ini sebagai pendukung bagi pendidik anak usia dini dalam mengembangkan sentra persiapan lebih lanjut. Bermain bukan hanya sekadar memberikan kesenangan, tapi juga bermanfaat besar bagi anak. Lewat kegiatan bermain yang positif, anak bisa menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi penginderaannya, menjelajahi dunia sekitarnya, dan mengenali lingkungan tempat ia tinggal termasuk mengenali dirinya sendiri. Kemampuan fisik anak semakin terlatih, begitu pula dengan kemampuan kognitif dan kemampuannya untuk bersosialisasi. Dalam bahasa sederhana, bermain membuatnya mengasah kecerdasannya.

Setiap anak pada dasarnya cerdas. Akan tetapi, kecerdasan tidak semata-mata merujuk kepada kecerdasan intelektual saja, atau lebih dikenal dengan istilah IQ. Ada pula kecerdasan majemuk (multiple intelligences) seperti kecerdasan bahasa, logika matematika, visual spasial, musik, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, natural dan moral. Setiap anak memiliki kesembilan kecerdasan ini meski dengan taraf yang berbeda-beda.
Bermain merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mengembangkan potensi dan multiple intelligences anak karena melalui kegiatan bermain ia akan lebih mudah menyerap informasi dan pengalaman.
Dengan bermain, berdasarkan riset penelitian yang ada, anak ternyata menjadi lebih cerdas, emosi dan kecerdasan anak pun meningkat. Anak juga jadi lebih peka akan kebutuhan dan nilai yang dimiliki orang lain. Bermain bersama teman juga memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk menyesuaikan perilaku mereka dengan orang lain. Hebatnya lagi, anak juga mampu menghargai perbedaan di antara mereka.
Bermain merupakan jendela perkembangan anak. Lewat kegiatan bermain aspek perkembangan anak bisa ditumbuhkan secara optimal dan maksimal. Membiarkan anak-anak usia pra sekolah bermain telah terbukti mampu meningkatkan perkembangan mental dan kecerdasan anak, bahkan jika anak tersebut mengalami malnutrisi.

Lancet Medical Journal baru-baru ini menyebutkan bahwa ada beberapa penelitian yang menemukan kaitan antara kecerdasan dan kegiatan bermain anak. Program kegiatan bermain untuk anak-anak kekurangan gizi di Bangladesh terbukti meningkatkan IQ mereka sampai 9 poin (Sally McGregor, 2006) dari Institute of Child Health at University College London. Malnutrisi atau kekurangan gizi sudah suatu masalah, namun malnutrisi tanpa stimulasi bagi perkembangan mental merupakan masalah yang jauh lebih besar. Juga dilaporkan dalam jurnal tersebut bahwa lebih dari 200 juta anak miskin di dunia kekurangan gizi. Sekitar 89 juta di antaranya ada di Asia Selatan dan 145 juta lainnya ada di negara India, Nigeria, China, Bangladesh, Ethiopia, Pakistan, Congo, Uganda, Tanzania, dan Indonesia.

Disimpulkan oleh para periset bahwa untuk meningkatkan kecerdasan anak-anak miskin tersebut bisa dilakukan dengan tindakan intervensi sederhana, yakni mendorong anak-anak untuk banyak bermain di rumah serta tentu saja meningkatkan kadar gizi mereka. Selama ini masyarakat terlalu memfokuskan untuk mengurangi angka kematian, tapi mereka sering lupa kalau banyak anak-anak yang terancam tidak bisa mencapai kecerdasan optimal, setelah duduk di kelas 5 atau 6 SD, kesempatan mereka untuk memperbaikinya sudah tipis.

Ditambahkan oleh Mc. Gregor, 2006, di sebuah daerah di Jamaica, anak-anak dari keluarga miskin diberi bantuan mainan yang bisa dimainkan sendiri di rumah, lalu perkembangan mereka dipantau sampai berusia 18 tahun. Tingkat IQ mereka lebih baik, kemampuan bacanya baik dan jarang yang drop-out dari sekolah, selain itu kesehatan mental anak-anak itu juga baik, mereka tidak depresi dan lebih percaya diri.
Sudah saatnya apabila kita semua, terutama para orang tua menyadari bahwa kegiatan bermain bukanlah kegiatan tak berguna dan hanya membuang waktu. Bermain selain merupakan hak asasi anak, juga diperlukan untuk meningkatkan kemampuan mereka (Kompas, 05 Januari 2007).

Selama ini perkembangan kecerdasan anak hanya dipandang dari kecerdasan intelektual saja, namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan para peneliti kecerdasan memunculkan teori baru tentang multiple intelligence. Teori tersebut menjadi dasar bagi beragamnya metode pembelajaran baik formal maupun non formal. Ragam metode pembelajaran tersebut bisa dilihat dari maraknya sekolah yang memunculkan berbagai keunggulan sekolah. Pada dasarnya metode belajar baik formal maupun non formal mengacu kepada bagaimana si anak dapat berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya. Tugas pendidik dan orang tua adalah membidani pengetahuan yang sudah ada dalam diri anak agar tereksplorasi secara alamiah.
Pendidikan bagi anak usia dini seharusnya dapat menyeimbangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik serta memberikan pendidikan dari segi moral dan sensitivitas anak terhadap permasalahan sosial. Permainan yang disajikan bagi anak usia dini harus lebih kreatif lagi. Seiring dengan perkembangan budaya, permainan yang berkembang dalam diri anak sudah bergeser. Tidak salah jika anak sudah meninggalkan permainan tradisional daerah karena budaya permainan yang berbasis teknologi terus berkembang. Untuk itu tetap harus memperkenalkan permainan tradisional daerah, selain anak mempunyai variatif permainan juga untuk mewariskan khazanah budaya yang berjuta pesona.

Untuk memfasilitasi anak agar memiliki kesempatan bermain yang cukup, pendidikan anak usia dini salah satunya dikembangkan dengan menggunakan metode sentra dan lingkaran yang diadopsi dari metode BCCT (Beyond Centre and Circle Time). Dalam metode ini, pembelajaran dibagi dalam bentuk sentra. Salah satu sentra yang ada adalah sentra persiapan. Sentra ini merupakan ”bengkel kerja” bagi anak-anak guna mengoptimalkan kemampuan keaksaraan pada anak sejak dini.

(salam., Widya Ayu)

Senin, 14 November 2011

Pendidikan Karakter, Membangun bukan Mengisi “Form Not Furnish”


Saat ini, bangsa kita sepertinya sedang berada dalam sebuah titik kritis menuju kehilangan jati diri. Banyak sekali peristiwa di tanah air yang menunjukkan fenomena tersebut. Generasi muda larut dalam kesenangan duniawi, korupsi merajalela, perbedaan berujung pertikaian, perselisihan berujung pada hilangnya nyawa, tawuran pada masyarakat akademik, anak-anak tidak lagi mengenal budaya bangsanya, bahkan, banyak di antara kita yang lupa, bahwa kita tumbuh, berkembang, hidup, makan, minum dan bernafas di bumi pertiwi. Apakah gerangan yang sedang terjadi? Apakah bangsa ini memang sedang menuju kehancuran, atau bangsa ini sedang dijajah perlahan-lahan untuk kemudian dilenyapkan dari percaturan dunia? Itulah pertanyaan mendasar, yang tidak sekedar memerlukan jawaban, tetapi membutuhkan perenungan mendalam dari nurani kita masing-masing.
Kita semua pasti tidak menginginkan bangsa ini tenggelam perlahan-lahan. Sungguh sebuah tragedi bila itu yang terjadi. Sebuah bangsa besar yang diperjuangkan dengan darah dan airmata, hilang begitu saja, hanya karena pewaris negeri ini lupa akan jati diri bangsa, lupa akan nilai-nilai luhur bumi pertiwi. Sebelum semuanya terjadi, kita patut segera sadar diri. Membangun kembali diri kita, mengangkat kembali harkat dan martabat bangsa ini. Negeri ini negeri yang luhur, memiliki tata nilai yang beradab, memiliki masyarakat yang santun, memiliki kekayaan yang melimpah. Inilah harta kita, pusaka yang wajib kita jaga bersama. Saat ini, tidak ada kata tidak, dan tidak lagi bisa ditunda, yang harus dilakukan adalah membangun kembali karakter bangsa melalui pendidikan karakter yang tepat. Pendidikan karakter saat ini adalah kebutuhan yang bersifat “darurat”. Semua elemen bangsa harus melakukan.
Pendidikan karakter bukan sekedar penanaman nilai-nilai kognitif, bukan sekedar pengetahuan, tetapi harus merupakan sebuah proses internalisasi. Proses internalisasi merupakan proses panjang, yang berjalan secara perlahan-lahan, sehingga menghasilkan sebuah produk yang berkualitas, yaitu karakter mulia. Proses internalisasi tidak bisa diajarkan, tetapi dilakukan melalui keteladanan dan pembiasaan.
Keteladanan memiliki peran yang luar biasa dalam penanaman karakter. Ibarat menanam pohon, keteladanan adalah tanah yang subur tempat semua tanaman bisa tumbuh, hidup dan berkembang, kemudian semua tanaman ini memberikan kemakmuran bagi makhluk hidup yang lainnya. Keteladanan dapat dilakukan oleh semua orang, semua elemen, dimanapun dan kapanpun belajar. Keteladanan memberikan “role model” bagi sebuah karakter mulia. Akan tetapi, keteladanan inilah yang pada saat ini sangat sulit ditemukan di negeri ini.
Keteladanan hampir menjadi barang langka di bumi tercinta ini, dan mungkin sama langkanya dengan spesies langka lainnya yang ada di muka bumi ini. Ketika kita berada di jalan, kita dapat mengamati, berapa banyak yang berlaku santun, berapa banyak yang berlaku disiplin, berapa banyak yang menghormati pejalan kaki, berapa banyak tidak buta huruf atau buta tanda atau buta warna? Ketika kita berada dalam sebuah zona pekerjaan, berapa banyak yang memiliki kinerja baik, berapa banyak yang memiliki komitmen dan konsistensi, berapa banyak yang mampu membangun sinergitas, berapa banyak yang mampu mendengarkan dengan baik, berapa banyak yang berpikiran terbuka? Ketika kita berada dalam sebuah antrian, berapa banyak yang mengantri dengan tertib, berapa banyak yang menaati aturan antrian. Ketika kita berada dalam sebuah keluarga, berapa banyak orangtua yang sanggup menjadi pendengar yang baik, berapa banyak orangtua yang memiliki komitmen, berapa banyak orangtua yang bisa menghargai anak-anaknya, berapa banyak orangtua yang konsisten terhadap aturan dalam keluarga? Kalau kita menjawab, banyak sekali, sungguh sesuatu yang luar biasa, karena itu menunjukkan bahwa bangsa ini masih ada. Karakter bangsa ini masih tertanam, tetapi bila jawabannya adalah sebaliknya, ini adalah bencana yang luar biasa. Akan tetapi, tidak ada kata terlambat, saat inilah, kita bersama-sama, harus bangkit, menguatkan kembali nilai-nilai karakter mulia yang kita miliki sebagai harta karun, yang harus kita gali kembali.
Pendidikan karakter sesungguhnya adalah membangun struktur pikiran bukan memgisi pikiran dengan nilai-nilai artifisial, sehingga nilai-nilai mulia terbentuk dalam pikiran setiap individu. Keteladanan memiliki kekuatan moral untuk membangun struktur pikiran. Hal ini sejalan dengan cara otak kita bekerja. Otak kita bekerja dengan dua cara, yaitu template dan transkripsi.
Ketika template berproses, cara bekerjanya tidak terpengaruh lingkungan. Hal-hal yang termasuk template antara lain refleks. Refleks bekerja secara spontan, menanggapi stimulus secara spesifik. Ketika otak bekerja dengan cara transkripsi, maka prosesnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Yang termasuk dalam hal ini adalah kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang. Kebiasaan ini sangat dupengaruhi oleh lingkungan, antara lain keteladanan dan pembiasaan itu sendiri.
Pembiasaan dalam rangka membentuk karakter mulia hendaknya dilakukan sejak dini. Ibarat menanam tanaman, sekali lagi, pembiasaan adalah pupuk yang baik. Pupuk yang baik mampu menjadikan tanaman tumbuh dan berkembang dengan baik. Pupuk inilah yang harus selalu diberikan. Pembiasaan yang baik akan dibawa hingga kelak dewasa. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Piaget, bahwa pengalaman masa kecil memiliki pengaruh ketika anak dewasa. Pengalaman ini salah satunya adalah pembiasaan.
Pembiasaan yang baik sejak dini membentuk pribadi-pribadi berkarakter luhur yang akan menjaga pusaka Indonesia. Apabila sejak dini anak terbiasa dengan perilaku mulia, seperti  bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, disiplin, tanggung jawab, memiliki komitmen, mendengarkan orang lain, hormat, santun, cinta tanah air, kerja keras, mandiri, berpikiran terbuka, tangguh, dan berani mengambil risiko, demikian pulalah ketika kelak tumbuh menjadi remaja atau dewasa.
Nilai-nilai ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memiliki esensi yang luar biasa dalam perkembangan anak di masa depan. Menanamkan nilai-nilai ketaqwaan berarti membangun generasi yang memiliki keimanan. Keimanan yang ditanamkan sejak dini diharapkan dapat membentuk generasi yang selalu dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan yang luhur. Hal ini ditumbuhkan sejak diri melalui pengenalan terhadap sifat-sifat Tuhan, pengenalan tata cara ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing melalui praktek, cerita, gambar dan aktivitas lainnya, pembiasaan berdoa sebelum melakukan aktivitas, pengenalan terhadap kebesaran Tuhan melalui ciptaan-ciptaanNya, dan sebagainya.
Nilai-nilai kejujuran ditanamkan melalui pembiasaan berkata yang baik dan benar, mengakui perbuatan dan hasil dari perbuatan, menanggung risiko atas tindakan. Berbagai aktivitas yang dikembangkan antara lain bermain dalam kelompok, rekreasi pendidikan ke berbagai pusat perbelanjaan.
Nilai-nilai kedisiplinan berkaitan dengan pemahaman dan implementasi berbagai aturan, norma yang berlaku secara universal di masyarakat. Nilai-nilai tersebut ditanamkan melalui pembiasaan  dalam berbagai aktivitas, seperti budaya antri, mengembalikan barang sesuai dengan tempatnya, merapikan peralatan pribadi, menaati waktu belajar atau bermain, menaati peraturan sederhana dalam keluarga atau sekolah dan sebagainya.
Pada dasarnya, pada setiap aktivitas anak dilakukan pembiasaan karakter mulia, sehingga akan terinternalisasi yang kelak terwujud dalam pribadi mulia di masa depan.


Terima kasih atas cintamu, Bunda
Terima kasih atas dukunganmu, Ayah
Semua itu membuat aku tumbuh
Terus tumbuh
Dan sanggup menghadapi kerasnya dunia