Kamis, 14 Juni 2012

KITA ADALAH MANUSIA WHOLE BRAIN


Istilah otak kanan dan otak kiri pertama kali dipopulerkan oleh seorang guru besar dari Universitas California di era 1950-an, yakni Roger Sperry. Berkat temuan ini, ia meraih nobel di bidang otak. Roger meminta para pelajar yang menjadi subyek penelitiannya untuk melakukan beberapa tugas mental, seperti melamun, menghitung, membaca, menggambar, bercerita, menulis, mewarnai dan mendengarkan musik. Di sela-sela kesibukan mengamati mereka, Roger mengukur gelombang otak subyek penelitian (Gunawan, 2003).

Hasil pengukuran gelombang otak sungguh mengejutkan. Pada umumnya, korteks serebral membagi tugas otak ke dalam dua kategori utama, yaitu kiri dan kanan. Tugas otak sebelah kanan (right cerebral hemisphere) meliputi irama, kesadaran ruang, imajinasi, melamun, warna dan dimensi. Otak kanan meruapakan bagian otak yang berpikir secara afektif dan relasional, memiliki karakter kualitatif, impulsif, spiritual, holistik, emosional, artistik, kreatif, subyektif, simbolis, imajinatif, simultan, intuitif dan mengontrol gerak motorik tubuh sebelah kiri.

Tugas otak sebelah kiri (left cerebral hemisphere) mencakup kata-kata, logika, angka, urutan, garis, analisis dan daftar. Bagian ini memiliki karakteristik khas yang bersifat logis, matematis, analitis, realistis, vertikal, kuantitatif, intelektual, obyektif dan mengontrol sistem motorik bagian tubuh kanan.

Meskipun terdapat perbedaan dalam dominasi kerja, ketika bekerja, seluruh bagian otak teraktifkan, sehingga manusia sesungguhnya merupakan individu yang “whole brain” atau menggunakan keseluruhan bagian otaknya. Dengan demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa ada manusia yang berotak kanan atau berotak kiri, karena keseluruhan bagian otak teraktifkan ketika terdapat stimulasi.
(salam, Widya)

Selasa, 12 Juni 2012

MENGIMPLEMENTASIKAN NILAI-NILAI KARAKTER


1.    Keteladanan
Keteladanan merupakan kunci utama dalam pendidikan karakter. Anak usia dini belajar melalui melihat, mendengar dan melakukan. Apa yang didengar dan dilihat oleh anak, itulah yang akan dicontoh untuk dilakukan. Dengan demikian, orang dewasa yang ada di sekitar anak hendaknya menunjukkan karakter mulia yang dapat diteladani oleh anak. Pendidikan karakter tidak dapat dilakukan dengan hanya diceritakan dalam kelas, sementara dalam kehidupan nyata anak melihat dunia yang carut marut, misalnya perilaku tidak disiplin,  verbal orang dewasa yang tidak baik seperti berkata kasar, tidak jujur. Hal-hal yang dilakukan oleh orang dewasa merupakan bentuk pembelajaran yang sangat efektif bagi anak usia dini.

2.    Pembiasaan
Pada usia dini,  anak memilki kapasitas belajar yang besar untuk belajar selain itu anak merupakan sebagai sosok yang mampu memecahkan  masalah sendiri secara aktif (active problem solver), serta memiliki cara sendiri untuk memahami dunia (Bruner.J, dalam Palmer, J.A., 2001). Melalui kapasitas belajarnya anak membangun pondasi dan ikatan intelektual yang kuat sebagai dasar pemahamannya tentang nilai-nilai kehidupan.
Dengan demikian, pembiasaan yang diberikan sejak usia  dini melalui aktivitas keseharian dalam keluarga dan lingkungan menjadi akar yang kokoh untuk bertumbuh dan berkembangnya nilai-nilai kehidupan dalam konteks etika, moral dan sosial-emosional. Begitu pula ketika anak mulai menginjak pendidikan pra sekolah, diharapkan mereka dapat belajar dan menguasai berbagai keterampilan dasar dalam membangun sikap, perilaku dan hubungan antar sesama. Aktivitas apapun yang dilakukan anak dapat dimuati oleh nilai-nilai yang tertanam secara menyenangkan, menghibur dan memberikan kebebasan anak untuk menjelahi relung-relung dimensi kehidupan. Penanaman nilai–nilai kehidupan dapat dilakukan dengan mudah, karena pada dasarnya manusia diciptakan dengan seperangkat potensi untuk tumbuh menjadi baik dan survive/mampu bertahan dalam kehidupan.

3.    Pola asuh yang tepat
Pengasuhan yang tepat sesuai karakteristik, kebutuhan dan potensi  anak secara tidak langsung akan membangun karakter-karakter positif. Sebaliknya pengasuhan yang salah akan memunculkan serangkaian sikap dan perilaku  yang mereduksi nilai-nilai kebaikan dan menggerus optimalisasi tumbuh kembang kehakikian karakter-karakter positif  manusia.

(salam, Widya)

SESUNGGUHNYA, MANUSIA DICIPTAKAN DENGAN KESANTUNAN LUAR BIASA


Kita kerapkali mendengar, bahkan menyaksikan berbagai peristiwa di masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter. Salah satunya adalah kesantunan. Kita sering melihat kurang santunnya banyak pengguna jalan raya, saling menyerobot, kebut-kebutan, bahkan sampai pada tindakan saling memaki hanya karena menganggap pengemudi lain bertindak tidak sopan, yang berujung pada timbulnya kericuhan atau kecelakaan yang membahayakan keselamatan pengguna jalan.

Betapa banyak orang yang beradu bicara, bahkan sampai beradu otot, hanya untuk hal-hal yang sesungguhnya bisa diselesaikan. Di dalam sebuah pertemuan, tidak jarang perdebatan menjadi pertengkaran yang berujung pada kekacauan. Tidak ada lagi penghormatan terhadap budaya untuk saling mendengar, memahami dan mengerti.

Kesantunan sepertinya mulai terkikis, dan yang terjadi adalah kelunturan nilai-nilai luhur yang dijunjung oleh bangsa ini. Sesungguhnyan kesantunan terkait erat dengan perkembangan moral seseorang. Seorang ahli perkembangan moral, Kolhberg, mengemukakan bahwa terdapat tiga tahap perkembangan moral, yaitu pra-conventional, conventional dan post conventional. Ketidaksantunan merupakan cerminan tahap perkembangan moral pra-conventional, yang setara dengan anak usia 0 – 8 tahun. Kalau sudah demikian, apakah hal ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat berada pada tahap belum dewasa, meskipun dari segi usia kronologis mungkin sudah sangat matang?

Sesungguhnya, kita dapat belajar kesantunan dari tubuh kita sendiri. Ketika sel-sel tubuh mulai berkembang, mereka menempatkan diri sesuai dengan fitrahnya masing-masing, meskipun sesungguhnya secara umum komposisi sel-sel tubuh tersebut hampir sama. Sel-sel tubuh yang mendapatkan tugas berkembang menjadi sel-sel rambut tidak pernah berkeinginan menjadi sel-sel jantung, demikian pula sel-sel  tubuh yang lain. Ketika menjalankan fungsinya, sel-sel tubuh  saling mendukung, menciptakan suasana yang kondusif, bekerja dalam sebuah sistem harmonis, menciptakan simponi kehidupan, sehingga seluruh bagian tubuh berfungsi sebagaimana mestinya.

Tidak ada sel tubuh yang menyombongkan diri atas kemampuan yang dimilikinya, tidak ada yang memiliki rasa iri, ingin menang sendiri ataupun ingin menunjukkan jasa-jasanya. Ketika ada benda asing yang memasuki tubuh, sel-sel tubuh yang bertanggung jawab atas pertahanan diri berusaha mengenali benda asing tersebut dengan baik sebelum bertindak. Sel-sel tubuh tidak bertindak semena-mena tetapi penuh kehati-hatian dan pertimbangan. Ketika ada sel-sel tubuh yang diserang penyakit, sel-sel tubuh yang lain membangun pertahanan tubuh agar sel-sel yang sakit kembali normal dan tubuh sehat kembali. Sungguh sebuah masyarakat sel yang damai.

Tubuh kita adalah cerminan masyarakat yang santun dan saling mendukung. Ini adalah teladan yang luar biasa. Lalu, mengapa kita tidak meneladani diri kita sendiri dan mengubahnya menjadi individu yang berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh sel-sel tubuh kita?
(salam, Widya)

Senin, 11 Juni 2012

BELAJAR, BELAJAR, BELAJAR


Rasa ingin tahu akan membuat kita belajar. Belajar untuk mencari tahu, memahami dan mendapatkan lebih banyak pengalaman dan keterampilan. Semakin banyak kita belajar, maka semakin banyak yang TIDAK KITA KETAHUI. Pada saat itulah sesungguhnya kita benar-benar memahami tentang diri kita.

Tidak ada individu yang mengetahui segala hal, seberapa pun tinggi pendidikan yang telah dicapai, seberapa pun banyak pengalaman yang telah didapatkan. Ilmu Allah Maha Luas, sehingga tidak akan pernah mampu dikuasai oleh manusia, meski sepanjang kehidupannya dia terus berusaha.

Oleh karena itulah, kita diwajibkan untuk belajar, belajar dan belajar, tiada henti.Proses belajar inilah yang akan menjadikan individu lebih matang, dewasa dan memiliki integritas ketika menjalankan perannya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.

Belajar dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Kita dapat belajar melalui membaca tiada lelah, berdiskusi secara positif, mengamati berbagai fenomena, mendengarkan orang lain dengan seksama, ataupun dengan cara-cara yang lain. Yang penting adalah, ketika kita belajar maka pikiran positif dan terbukalah yang perlu dimiliki.

Ketika kita berikiran positif, kita akan mampu menerima, memproses dan menggunakan kembali informasi dengan sangat baik. Di samping itu, pikiran positif mampu membangkitkan energi positif yang dapat menciptakan  suasana kondusif untuk belajar, tidak hanya untuk diri pribadi, tetapi juga untuk orang lain. Pikiran positif dapat menjadi “penyakit menular” yang akan menjalar pada orang lain di sekeliling kita, demikian pula sebaliknya.

Pikiran yang terbuka akan membuat kita memiliki wawasan yang luas dan sudut pandang yang berbeda-beda dalam menghadapi berbagi hal atau situasi. Pikiran terbuka juga mampu membangkitkan endorfin yang dapat menyebar pada orang-orang yang berada di sekeliling kita. Pikiran yang terbuka akan melahirkan ide-ide kreatif yang berguna bagi orang lain dan diri sendiri.

Jadi, pikiran positif dan terbuka merupakan prasyarat untuk belajar, dan belajar terjadi di sepanjang kehidupan kita. Ketika kita telah belajar, belajar dan belajar, barulah tiba saatnya kita melakukan “transfer of knowlegde”. “Transfer of knowledge” kepada orang lain memerlukan bekal yang cukup, agar apa yang kita transfer atau sampaikan adalah hal yang benar adanya. Pepatah mengatakan bahwa bila kita mengetahui sesuatu dengan baik dan benar, maka sampaikanlah, tetapi bila kita tidak mengetahui atau menguasainya, maka sebaiknyalah kita diam, agar kita tidak menyampaikan hal yang keliru, karena kekeliruan tersebut akan menimbulkan kekeliruan lainnya yang lebih besar lagi. Kekeliruan ini akan menjadi tanggung jawab moral kita hingga kita dapat memperbaikinya.

Pertanyaannya adalah “Sanggupkah kita untuk selalu belajar, belajar dan belajar, sementara mungkin kita sudah menganggap bahwa apa yang kita miliki sudah cukup atau bahkan lebih dari cukup?”
(Salam, Widya)

Terima Kasih Atas Segala Cintamu, Ya Rabb


Allah SWT memberikan kehidupan bagi manusia untuk selalu disyukuri, karena Allah SWT memberikannya dengan cinta. Akan tetapi, berapa banyak dari kita yang jarang atau bahkan tidak pernah mensyukuri karuniaNya.

Kita dapat menghirup oksigen dengan gratis, melalui hidung yang telah diberikan dengan gratis pula oleh Sang Pemberi Hidup. Kita dapat menatap indahnya rembulan dengan mata yang diberikan secara gratis oleh Sang Pemberi Nikmat. Kita dapat berjalan, berlari, dengan kaki yang telah diberikan oleh Sang Pencipta.

Namun, banyak di antara kita menjalani kehidupan dengan mengeluh. Di tempat kerja kita mengeluh dengan banyaknya beban tugas, tidak sesuainya imbalan/penghargaan, kurangnya diberi kepercayaan, suasana kantor yang tidak nyaman, pembagian kerja yang tidak seimbang, kesuksesan rekan kerja, dan sebagainya, sehingga tercipta nuansa negatif bagi diri kita dan lingkungan kita. Di jalan kita mengeluh. Mengeluh atas kemacetan, jalanan yang panas, berdebu, suara klakson kendaraan lain yang tiada berhenti, mogoknya kendaraan. Di rumah kita juga mengeluh. Mengeluh atas kreativitas anak-anak kita, tetangga kita, kebisingan di sekeliling, jauhnya dari fasilitas umum, dan yang lainnya.

Setiap saat kita mengeluh, sehingga berubah menjadi energi negatif yang sangat berpengaruh terhadap diri pribadi, baik secara fisik maupun psikis. Energi negatif inilah yang dapat menjadi salah satu sumber penyakit kita, sehingga tumbuh menjadi manusia yang tidak sehat dan tidak produktif. Energi negatif tersebut akan melemahkan pertahanan diri kita, menurunkan kewaspadaan otak dan kebugaran tubuh.

Daripada sepanjang waktu kita mengeluh, akan lebih baik apabila kita selalu bersyukur. Rasa syukur inilah yang akan mengalirkan energi positif. Energi positif memiliki daya yang luar biasa untuk meningkatkan stamina dan kesehatan fisik serta mental, sehingga kita tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, prima dan produktif. Telah banyak penelitian yang mendukung hal tersebut.

Jadi, mana yang akan kita pilih? Menjadi sehat lahir batin atau menjadi individu yang sakit lahir dan batin sepanjang masa?
(salam, Widya)

AYAH DAN PENGASUHAN ANAK


Pengasuhan, perawatan dan pendidikan anak sering diidentikkan dengan peran seorang ibu, sehingga jarang sekali ayah turut mengambil bagian dalam tugas-tugas tersebut. Tidak turutnya ayah dalam peran tersebut dibangun atas dasar budaya bahwa seorang ayah adalah tulang punggung keluarga, yang harus mencari nafkah di luar rumah, sehingga jarang berinteraksi dengan anak, dan ketika berada di rumah sudah dalam kondisi yang cukup lelah. Sementara itu, tugas pengasuhan, perawatan dan pendidikan anak lebih berkaitan dengan peran-peran domestik, yang secara budaya lebih banyak dilakukan oleh ibu. Orangtua sesungguhnya tidaklah lengkap ketika kehadiran ayah belum atau jarang dirasakan oleh anak.

Namun, pada saat ini telah terjadi pergeseran peran antara ayah dan ibu. Di masyarakat kita, sudah banyak ayah yang mengambil peran dalam pengasuhan, perawatan dan pendidikan anak. Telah banyak ayah yang meluangkan waktu untuk bermain dan berkomunikasi lebih intensif dengan anak. Beberapa penelitian juga telah menunjukkan bahwa peran ayah yang memadai dapat meningkatkan prestasi, rasa percaya diri dan motivasi anak untuk belajar. Dengan demikian, turut sertanya seorang ayah dalam hal ini menjadi luar biasa penting, dibanding “hanya” sebagai pencari nafkah.

Torehan tinta emas dalam hati anak karena kehadiran seorang ayah jauh lebih indah dibanding hanya “cucuran keringat” tanpa adanya interaksi yang cukup antara ayah dan anak. Hanya saja, seringkali seorang ayah cukup kebingungan atau kikuk ketika berhadapan dengan anak, apalagi apabila semasa kecil tidak berada dalam keluarga dengan figur ayah yang hangat dalam berinteraksi, komunikatif. Hal ini membuat seorang ayah tidak pernah mendapatkan contoh bagaimana menjadi ayah yang dekat di hati anak.

Namun demikian, seorang ayah adalah manusia. Manusia tidak pernah berhenti belajar, dan bahkan belajar menjadi ayah sejati. Untuk itu, marilah kita datangi anak kita dengan cinta, dan cinta sejati hadir dari hati seorang ayah dan ibu. Peluk, cium dan katakan ‘aku sayang kamu’ kepada anak-anak kita, sebelum terlambat, dan sebelum mereka mengatakan, “ayahku tidak pernah mengatakan bahwa dia sayang padaku, jadi aku tidak tahu, apakah dia benar-benar sayang padaku”.   

(salam, Widya)