Kamis, 07 Juni 2012

Faktor yang Mempengaruhi Karakter


Karakter anak usia dini sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat anak hidup, tumbuh dan berkembang. Hal ini sejalan dengan teori ekologi menekankan pengaruh lingkungan dan merupakan pandangan sosiokultural mengenai perkembangan, yang terdiri dari lima sistem lingkungan, mulai dari masukan interaksi langsung dengan agen sosial yang berkembang baik hingga agen kebudayaan yang bersifat luas. Kelima sistem tersebut meliputi  mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem, yang secara singkat diuraikan berikut ini (Santrock, 1995).

Mikrosistem merupakan setting tempat individu hidup. Konteks ini meliputi  lingkungan terdekat anak, tempat anak hidup, antara lain keluarga, sekolah, teman sebaya, guru dan lain-lain yang sehari-hari ditemui anak. Mikrosistem memiliki pengaruh langsung dan sangat besar dalam perkembangan anak. Hubungan yang terjadi dalam mikrosistem bersifat timbal balik atau dua arah. Orang dewasa mempengaruhi perilaku anak, tetapi anak secara biologis dan sosial mempengaruhi karakteristik perilaku orang dewasa (Collins et al., 2000; Crockenberg & Leerkes, 2003). Dengan demikian, anak tidak dipandang sebagai penerima pengalaman yang pasif dalam setting ini, tetapi seseorang yang turut menolong membangun setting (Santrock, 1995).

Mesosistem adalah interaksi antar faktor-faktor dalam sistem mikro yang meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau beberapa konteks seperti hubungan antara orangtua dan guru, orangtua dan teman, antar teman, dapat juga hubungan antara pengalaman sekolah dengan pengalaman keluarga, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan dan pengalaman keluarga dengan pengalaman teman sebaya. Sebagai contoh, anak dengan orangtua otoriter dapat mengalami kesulitan dalam  mengembangkan hubungan sosial, anak dengan orang tua yang menolak kehadiran mereka dapat mengalami kesulitan mengembangkan hubungan positif dengan guru (Santrock, 1995; Berk, 2006).

Ekosistem dalam teori Bronfenbrenner dilibatkan ketika pengalaman-pengalaman dalam setting sosial lain – yaitu individu tidak memiliki peran yang aktif – mempengaruhi hal-hal yang dialami individu dalam konteks yang dekat. Misalnya, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan antara ibu, ayah dan anak. Dengan demikian, eksosistem tidak langsung menyentuh pribadi anak akan tetapi masih besar pengaruhnya. Sebagai contoh, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan antara seorang perempuan dengan suami dan anaknya (Santrock, 1995).

Makrosistem meliputi kebudayaan tempat individu hidup. Kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat istiadat, budaya, dan lain-lain.
Kronosistem meliputi pembentukan pola atas sejumlah peristiwa sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan sosiohistoris. Sebagai contoh, dalam mempelajari dampak perceraian terhadap anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah perceraian.

Interaksi anak dengan kelima sistem lingkungan digambarkan sebagai berikut.


(Salam, Widya)

MARI BELAJAR DARI BEBEK


Beberapa waktu yang lalu saya bepergian dan kebetulan menggunakan pesawat udara. Pagi hari (agar tidak tertinggal pesawat) saya sudah menuju bandara. Begitu sampai di bandara dan melewati petugas pemeriksaan, saya langsung menuju counter check in, dan berdiri di belakang garis batas untuk check in dan menunggu selesainya layanan pada calon penumpang yang ada di depan saya.  Saya belum juga dilayani, tiba-tiba seorang ibu berdiri di depan saya untuk mengantri. Saya terkejut dengan adanya adegan penyerobotan ini. Saya menepuk pundaknya, dan berkata, “Bu, mohon maaf, antrian ibu ada di belakang saya”. Beliaunya menoleh sambil berkata, “O, ibu sedang antri ya, saya kira kosong, kan jaraknya jauh. Maaf, ya?’ Dia kemudian mundur ke belakang saya. Tak lama kemudian, seorang bapak melakukan hal serupa, dan lagi-lagi saya menegurnya untuk mengantri dengan tertib.

Jarak antara saya dengan calon penumpang yang ada di depan saya memang agak jauh, sehingga terkesan ada ruang kosong, padahal sudah jelas garis batas antrian untuk check in. Saya bertanya pada diri saya, apakah kejadian ini timbul karena batas antrian memang tidak dipahami, ataukah kita terbiasa tidak tertib mengantri. Saya berpikir, mungkin hal kedua inilah yang terjadi. Sejak dini, kita tidak terbiasa antri dan lingkungan mendukung untuk timbulnya hal tersebut.

Hal ini juga sering kita jumpai di jalan raya. Adegan saling mendahului atau menyerobot merupakan pemandangan biasa kita jumpai dan menjadi bagian dari keseharian dan kebiasaan kita. Mungkinkan kita bisa mengubah hal tersebut untuk masyarakat yang lebih tertib? Semuanya berpulang pada diri kita masing-masing. Coba kita tengok binatang “bebek”. Mereka bisa antri dengan baik, mengapa kita tidak?
(Salam, Widya )