Agaknya, kita harus mulai mewaspadai gangguan kronis yang melanda mata kita, yaitu buta warna, karena sebagian masyarakat kita ternyata terkena penyakit tersebut. Parahnya lagi, penyakit ini dapat menular kepada anak-anak.
Betapa tidak, ketika saya beberapa melalui perempatan jalan raya yang terdapat lampu lalu lintas, ternyata banyak orang yang tidak sabar dan menyerobot ketika lampu berwarna merah sebagai tanda untuk berhenti sejenak. Saya bertanya dalam hati, adakah masyarakat kita mengalami buta warna, sehingga tidak dapat membedakan warna merah, hijau dan kuning? Yang lebih parah lagi, perbuatan tersebut dilihat oleh anak-anak. Mereka mungkin berkata dalam hati, "kalau begitu, peraturan memang boleh dilanggar, karena banyk orang dewasa yang melakukannya". Sungguh, perilaku tersebut akan cepat menular kepada anak-anak, karena salah satu cara mereka belajar adalah dengan meniru.
Beberapa waktu yang lalu, saya juga melintasi jalan dengan rambu lalu lintas bertuliskan, "Belok Kiri Mengikuti Isyarat Lampu", namun ketika lampu lalu lintas berwarna merah, beberapa kendaraan juga dengan santai mengabaikan peringatan tersebut. "Waduh, kalau begitu, selain buta warna, buta huruf juga melanda sebagian masyarakat kita".
Tidak berhenti sampai di sini. Ketika saya melanjutkan perjalanan, ada tanda dilarang belok, dan ternyata beberapa kendaraan pun belok melalui jalan tersebut "Wah, ternyata tambah parah penyakitnya. Ada tambahan buta simbol atau buta tanda. Penyakit kronis plus komplikasi. Parah sekali".
Saya pikir, inilah saatnya kita mengoreksi diri, bila kita memimpikan lingkungan yang tertib, aman dan nyaman, serta generasi yang memiliki disiplin tinggi.
Sanggupkah kita?......?!?!?!?!?!
(Surabaya, 26 Pebruari 2012; Salam, Widya)
Blog ini berisikan berbagai hal tentang anak usia dini, mulai dari permasalahan, pengetahuan dasar maupun berbagai pengalaman yang berkaitan dengan dunia anak usia dini. Salah satu aspek yang perlu dibangun sejak dini adalah ketangguhan. Ketangguhan inilah yang saya sebut sebagai adversity response (kemampuan menghadapi kesulitan). Anak yang memiliki adversity response baik, cenderung memiliki kesehatan fisik dan psikis yang baik. Anak yang demikian dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Sabtu, 25 Februari 2012
Kamis, 23 Februari 2012
Membangun Karakter, Tugas Mulia yang Mendesak
Karakter mulia suatu bangsa hanya dapat terpelihara ketika masyarakat
dalam bangsa tersebut melestarikannya. Salah satu cara untuk melestarikan
adalah melalui pendidikan, yang dimulai dari pendidikan anak usia dini. Pada
usia dini, terjadi proses pembentukan karakter, sehingga setiap orang dewasa
hendaknya menunjukkan karakter mulia, karena anak usia dini belajar melalui
melalui keteladanan dan pembiasaan. Orang dewasa yang memegang peranan penting
adalah orangtua, baik orangtua kandung maupun orangtua “sosial” (dalam hal ini
masyarakat, termasuk pendidik).
Karakter mulia merupakan implementasi nilai-nilai karakter luhur, yang
diharapkan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bangsa yang berbudi
luhur. Dalam pendidikan anak usia dini, terdapat 15 nilai karakter yang telah
dikembangkan, yaitu:
1 1. Kecintaan terhadap Tuhan YME
2 2. Kejujuran
3 3. Disiplin
4 4. Toleransi dan cinta damai
5 5. Percaya diri
6 6. Mandiri
7 7. Tolong menolong, kerjasama, dan
gotong royong
8 8. Hormat dan sopan santun
9 9. Tanggung jawab
1 10. Kerja keras
1 11. Kepemimpinan dan keadilan
1 12. Kreatif
1 13. Rendah hati
1 14. Peduli lingkungan
1 15. Cinta bangsa dan tanah air
Agar nilai-nilai tersebut terinternalisasi pada diri anak, maka sudah
seyogyanyalah kita sebagai orangtua menginternalisasikan terlebih dahulu
nilai-nilai tersebut. Hal yang selanjutnya perlu kita renungkan adalah,
sudahkan keseluruhan perilaku kita mencerminkan keseluruhan nilai-nilai
tersebut? Apabila jawaban belum, sanggupkah kita mengubah diri kita, demi
pembangunan karakter anak-anak kita dan menyelamatkan bangsa ini?
(Surabaya, 24 Pebruari 2012; Salam, Widya)
HIDUP BERSIH BERAWAL DARI KEBIASAAN
Hidup bersih sesungguhnya harus
menjadi bagian dari kebiasaan kita sehari-hari. “Bersih Pangkal Sehat”,demikian
slogan yang sering kita dengar semenjak kecil. Akan tetapi, kenyataannya
sungguh jauh berbeda. Kita memiliki kebiasaan yang jauh dari hidup bersih.
Sebagai contoh, perilaku
membuang sampah. Kita begitu biasa membuang sampah dimana-mana, bahkan ketika
tempat sampah telah disediakan, kita tetap membuang sampah tidak pada
tempatnya. Akan sangat ironis sekali, ketika kita berusaha membiasakan putra
putri kita untuk membuang sampah pada tempatnya, sementara kita sendiri sebagai
orang dewasa membuang sampah di mana-mana. Pernah juga saya melihat seorang ibu
membuang sampah berupa plastik dan kaleng dari kaca jendela mobilnya yang mewah, di tengah jalan raya,
sementara di sampingnya ada 2 anak balita sedang melihat perilaku tersebut.
Pastilah perilaku tersebut akan menjadi contoh yang sangat efektif untuk
ditiru.
Namun demikian, yang juga
banyak terjadi adalah tempat sampah tidak tersedia dengan memadai sehingga
ketika hendak membuang sampah, tidak dapat menemukan tempat sampah, sehingga
alternatifnya adalah membuang di sembarang tempat, atau mengantongi sampah
dalam saku atau tas kita. Ini terjadi pula pada anak-anak kita yang sudah
terbiasa membuang sampah pada tempatnya, pasti merasa tidak nyaman ketika harus
membuang di sembarang tempat. Jadi, tipsnya adalah, bawalah selalu kantong
plastik kecil untuk mengantongi sampah seandainya tidak tersedia tempat sampah.
Namun demikian, kebiasaan ini akan berubah ketika anak-anak sering melihat
orang dewasa membuang sampah sembarangan. Anak belajar dengan meniru. Apa yang
dilakukan oleh orang dewasa, akan ditiru oleh anak-anak, karena orang dewasa
adalah salah satu model perilaku bagi anak-anak.
Oleh karena itu, apabila kita
mengharapkan lingkungan yang bersih, menjadi tanggung jawab kitalah untuk
berperilaku bersih. Hal demikianlah yang akan ditiru oleh anak-anak kita.
(Surabaya, 23 Pebruari 2012;
Salam, Widya)
Selasa, 21 Februari 2012
MEMBANGUN JEMBATAN ANTARA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DAN JENJANG PENDIDIKAN DASAR
Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, demikian bunyi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 1 angka 14. Dengan demikian, diharapkan
anak memiliki fondasi yang kuat dan bekal yang cukup dalam menapaki tahap
kehidupan selanjutnya.
Anak
usia 0 – 6 tahun telah mendapatkan fasilitas dan prioritas dalam pembangunan
pendidikan nasional, sehingga siap memasuki jenjang pendidikan dasar. Sementara
itu, untuk memasuki jenjang pendidikan dasar, diharapkan anak telah berusia 7
tahun. Di sinilah nampak kesenjangan layanan pendidikan bagi anak, yaitu ada
anak usia 6 – 7 tahun, yang kemungkinan belum terlayani pendidikan, bahkan
indikator perkembangan untuk anak usia 6 – 7 tahun pun belum ada. Pertanyaannya
kemudian adalah, siapa yang bertanggung jawab terhadap stimulasi mereka, apakah
dalam fase pendidikan anak usia dini ataukah jenjang pendidikan dasar?
Hal
ini perlu mendapatkan perhatian kita semua, karena ada begitu banyak anak usia
6 – 7 tahun, sudah di luar area pendidikan anak usia dini, namun belum bisa
memasuki jenjang pendidikan dasar karena usia dianggap belum cukup, atau jumlah
murid yang diterima di SD sudah melebihi kuota. Untuk mengatasi hal tersebut,
beberapa langkah yang dilakukan oleh orangtua antara lain memperpanjang waktu
anak untuk berada di taman kanak-kanak, sementara kemungkinan anak sudah
mengalami kebosanan.
Oleh
karena itu, perlu menjadi pemikiran kira untuk mengembangkan sebuah program
pendidikan yang dapat menjembatani antara pendidikan anak usia dini dengan
jenjang pendidikan dasar atau biasa disebut sebagai bridging program. Program inilah yang akan mempersiapkan anak untuk
memasuki jenjang pendidikan dasar, yang notabene benar-benar berbeda dengan
pendidikan anak usia dini, sekaligus memfasilitasi anak-anak yang menurut
usianya (baik usia mental maupun usia kronoligis) belum bisa memasuki jenjang pendidikan dasar.
Dengan demikian, diharapkan anak-anak juga tidak menjadi “shock” ketika memasuki kelas-kelas awal sekolah dasar, di samping
juga mengurangi tingkat “penolakan anak terhadap sekolah” dan meningkatkan “school readiness”.
Sementara
jembatan ini belum terbangun,
orangtualah yang terlebih dahulu membangun kesiapan anak. Dalam arti,
pemahaman orangtua terhadap tingkat perkembangan anak menjadi hal yang sangat
penting, sehingga dapat memutuskan, apakah seorang anak sudah waktunya memasuki
jenjang pendidikan dasar atau masih tetap berada dalam fase pendidikan anak
usia dini. Orangtua hendaknya tidak memaksakan sebuah kemampuan yang memang
belum dapat dikuasai oleh anak hanya untuk memasuki jenjang pendidikan dasar.
Dengan demikian, berbagai permasalahan yang mungkin timbul ketika anak sudah
berada dalam jenjang pendidikan dasar dapat diminimalisir, dan anak-anak kita
menjadi anak yang gemar bersekolah, dan bukan malah “phobi sekolah”.
(Surabaya,
22 Pebruari 2012; Salam, Widya)
Langganan:
Postingan (Atom)