Sabtu, 25 Februari 2012

HATI-HATI, BUTA WARNA

Agaknya, kita harus mulai mewaspadai gangguan kronis yang melanda mata kita, yaitu buta warna, karena sebagian masyarakat kita ternyata terkena penyakit tersebut. Parahnya lagi, penyakit ini dapat menular kepada anak-anak.

Betapa tidak, ketika saya beberapa melalui perempatan jalan raya yang terdapat lampu lalu lintas, ternyata banyak orang yang tidak sabar dan menyerobot ketika lampu berwarna merah sebagai tanda untuk berhenti sejenak. Saya bertanya dalam hati, adakah masyarakat kita mengalami buta warna, sehingga tidak dapat membedakan warna merah, hijau dan kuning? Yang lebih parah lagi, perbuatan tersebut dilihat oleh anak-anak. Mereka mungkin berkata dalam hati, "kalau begitu, peraturan memang boleh dilanggar, karena banyk orang dewasa yang melakukannya". Sungguh, perilaku tersebut akan cepat menular kepada anak-anak, karena salah satu cara mereka belajar adalah dengan meniru.

Beberapa waktu yang lalu, saya juga melintasi jalan dengan rambu lalu lintas bertuliskan, "Belok Kiri Mengikuti Isyarat Lampu", namun ketika lampu lalu lintas berwarna merah, beberapa kendaraan juga dengan santai mengabaikan peringatan tersebut. "Waduh, kalau begitu, selain buta warna, buta huruf juga melanda sebagian masyarakat kita".

Tidak berhenti sampai di sini. Ketika saya melanjutkan perjalanan, ada tanda dilarang belok, dan ternyata beberapa kendaraan pun belok melalui jalan tersebut "Wah, ternyata tambah parah penyakitnya. Ada tambahan buta simbol atau buta tanda. Penyakit kronis plus komplikasi. Parah sekali".

Saya pikir, inilah saatnya kita mengoreksi diri, bila kita memimpikan lingkungan yang tertib, aman dan nyaman, serta generasi yang memiliki disiplin tinggi.

Sanggupkah kita?......?!?!?!?!?!
(Surabaya, 26 Pebruari 2012;  Salam, Widya)
   

Kamis, 23 Februari 2012

Membangun Karakter, Tugas Mulia yang Mendesak


Karakter mulia suatu bangsa hanya dapat terpelihara ketika masyarakat dalam bangsa tersebut melestarikannya. Salah satu cara untuk melestarikan adalah melalui pendidikan, yang dimulai dari pendidikan anak usia dini. Pada usia dini, terjadi proses pembentukan karakter, sehingga setiap orang dewasa hendaknya menunjukkan karakter mulia, karena anak usia dini belajar melalui melalui keteladanan dan pembiasaan. Orang dewasa yang memegang peranan penting adalah orangtua, baik orangtua kandung maupun orangtua “sosial” (dalam hal ini masyarakat, termasuk pendidik).
Karakter mulia merupakan implementasi nilai-nilai karakter luhur, yang diharapkan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bangsa yang berbudi luhur. Dalam pendidikan anak usia dini, terdapat 15 nilai karakter yang telah dikembangkan, yaitu:
1          1.       Kecintaan terhadap Tuhan YME
2          2.       Kejujuran
3          3.       Disiplin
4          4.      Toleransi dan cinta damai
5          5.       Percaya diri
6          6.       Mandiri
7          7.       Tolong menolong, kerjasama, dan gotong royong
8          8.       Hormat dan sopan santun
9          9.       Tanggung jawab
1          10.   Kerja keras
1          11.   Kepemimpinan dan keadilan
1          12.   Kreatif
1          13.   Rendah hati
1          14.   Peduli lingkungan
1          15.   Cinta bangsa dan tanah air
Agar nilai-nilai tersebut terinternalisasi pada diri anak, maka sudah seyogyanyalah kita sebagai orangtua menginternalisasikan terlebih dahulu nilai-nilai tersebut. Hal yang selanjutnya perlu kita renungkan adalah, sudahkan keseluruhan perilaku kita mencerminkan keseluruhan nilai-nilai tersebut? Apabila jawaban belum, sanggupkah kita mengubah diri kita, demi pembangunan karakter anak-anak kita dan menyelamatkan bangsa ini?
(Surabaya, 24 Pebruari 2012; Salam, Widya)

HIDUP BERSIH BERAWAL DARI KEBIASAAN

Hidup bersih sesungguhnya harus menjadi bagian dari kebiasaan kita sehari-hari. “Bersih Pangkal Sehat”,demikian slogan yang sering kita dengar semenjak kecil. Akan tetapi, kenyataannya sungguh jauh berbeda. Kita memiliki kebiasaan yang jauh dari hidup bersih.

Sebagai contoh, perilaku membuang sampah. Kita begitu biasa membuang sampah dimana-mana, bahkan ketika tempat sampah telah disediakan, kita tetap membuang sampah tidak pada tempatnya. Akan sangat ironis sekali, ketika kita berusaha membiasakan putra putri kita untuk membuang sampah pada tempatnya, sementara kita sendiri sebagai orang dewasa membuang sampah di mana-mana. Pernah juga saya melihat seorang ibu membuang sampah berupa plastik dan kaleng dari kaca jendela  mobilnya yang mewah, di tengah jalan raya, sementara di sampingnya ada 2 anak balita sedang melihat perilaku tersebut. Pastilah perilaku tersebut akan menjadi contoh yang sangat efektif untuk ditiru.

Namun demikian, yang juga banyak terjadi adalah tempat sampah tidak tersedia dengan memadai sehingga ketika hendak membuang sampah, tidak dapat menemukan tempat sampah, sehingga alternatifnya adalah membuang di sembarang tempat, atau mengantongi sampah dalam saku atau tas kita. Ini terjadi pula pada anak-anak kita yang sudah terbiasa membuang sampah pada tempatnya, pasti merasa tidak nyaman ketika harus membuang di sembarang tempat. Jadi, tipsnya adalah, bawalah selalu kantong plastik kecil untuk mengantongi sampah seandainya tidak tersedia tempat sampah. Namun demikian, kebiasaan ini akan berubah ketika anak-anak sering melihat orang dewasa membuang sampah sembarangan. Anak belajar dengan meniru. Apa yang dilakukan oleh orang dewasa, akan ditiru oleh anak-anak, karena orang dewasa adalah salah satu model perilaku bagi anak-anak.

Oleh karena itu, apabila kita mengharapkan lingkungan yang bersih, menjadi tanggung jawab kitalah untuk berperilaku bersih. Hal demikianlah yang akan ditiru oleh anak-anak kita.
(Surabaya, 23 Pebruari 2012; Salam, Widya)

Selasa, 21 Februari 2012

MEMBANGUN JEMBATAN ANTARA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DAN JENJANG PENDIDIKAN DASAR


Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, demikian bunyi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 angka 14. Dengan demikian, diharapkan anak memiliki fondasi yang kuat dan bekal yang cukup dalam menapaki tahap kehidupan selanjutnya.
Anak usia 0 – 6 tahun telah mendapatkan fasilitas dan prioritas dalam pembangunan pendidikan nasional, sehingga siap memasuki jenjang pendidikan dasar. Sementara itu, untuk memasuki jenjang pendidikan dasar, diharapkan anak telah berusia 7 tahun. Di sinilah nampak kesenjangan layanan pendidikan bagi anak, yaitu ada anak usia 6 – 7 tahun, yang kemungkinan belum terlayani pendidikan, bahkan indikator perkembangan untuk anak usia 6 – 7 tahun pun belum ada. Pertanyaannya kemudian adalah, siapa yang bertanggung jawab terhadap stimulasi mereka, apakah dalam fase pendidikan anak usia dini ataukah jenjang pendidikan dasar?
Hal ini perlu mendapatkan perhatian kita semua, karena ada begitu banyak anak usia 6 – 7 tahun, sudah di luar area pendidikan anak usia dini, namun belum bisa memasuki jenjang pendidikan dasar karena usia dianggap belum cukup, atau jumlah murid yang diterima di SD sudah melebihi kuota. Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa langkah yang dilakukan oleh orangtua antara lain memperpanjang waktu anak untuk berada di taman kanak-kanak, sementara kemungkinan anak sudah mengalami kebosanan.
Oleh karena itu, perlu menjadi pemikiran kira untuk mengembangkan sebuah program pendidikan yang dapat menjembatani antara pendidikan anak usia dini dengan jenjang pendidikan dasar atau biasa disebut sebagai bridging program. Program inilah yang akan mempersiapkan anak untuk memasuki jenjang pendidikan dasar, yang notabene benar-benar berbeda dengan pendidikan anak usia dini, sekaligus memfasilitasi anak-anak yang menurut usianya (baik usia mental maupun usia kronoligis)  belum bisa memasuki jenjang pendidikan dasar. Dengan demikian, diharapkan anak-anak juga tidak menjadi “shock” ketika memasuki kelas-kelas awal sekolah dasar, di samping juga mengurangi tingkat “penolakan anak terhadap sekolah” dan meningkatkan “school readiness”.
Sementara jembatan ini belum terbangun,  orangtualah yang terlebih dahulu membangun kesiapan anak. Dalam arti, pemahaman orangtua terhadap tingkat perkembangan anak menjadi hal yang sangat penting, sehingga dapat memutuskan, apakah seorang anak sudah waktunya memasuki jenjang pendidikan dasar atau masih tetap berada dalam fase pendidikan anak usia dini. Orangtua hendaknya tidak memaksakan sebuah kemampuan yang memang belum dapat dikuasai oleh anak hanya untuk memasuki jenjang pendidikan dasar. Dengan demikian, berbagai permasalahan yang mungkin timbul ketika anak sudah berada dalam jenjang pendidikan dasar dapat diminimalisir, dan anak-anak kita menjadi anak yang gemar bersekolah, dan bukan malah “phobi sekolah”.
(Surabaya, 22 Pebruari 2012; Salam, Widya)