Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, demikian bunyi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 1 angka 14. Dengan demikian, diharapkan
anak memiliki fondasi yang kuat dan bekal yang cukup dalam menapaki tahap
kehidupan selanjutnya.
Anak
usia 0 – 6 tahun telah mendapatkan fasilitas dan prioritas dalam pembangunan
pendidikan nasional, sehingga siap memasuki jenjang pendidikan dasar. Sementara
itu, untuk memasuki jenjang pendidikan dasar, diharapkan anak telah berusia 7
tahun. Di sinilah nampak kesenjangan layanan pendidikan bagi anak, yaitu ada
anak usia 6 – 7 tahun, yang kemungkinan belum terlayani pendidikan, bahkan
indikator perkembangan untuk anak usia 6 – 7 tahun pun belum ada. Pertanyaannya
kemudian adalah, siapa yang bertanggung jawab terhadap stimulasi mereka, apakah
dalam fase pendidikan anak usia dini ataukah jenjang pendidikan dasar?
Hal
ini perlu mendapatkan perhatian kita semua, karena ada begitu banyak anak usia
6 – 7 tahun, sudah di luar area pendidikan anak usia dini, namun belum bisa
memasuki jenjang pendidikan dasar karena usia dianggap belum cukup, atau jumlah
murid yang diterima di SD sudah melebihi kuota. Untuk mengatasi hal tersebut,
beberapa langkah yang dilakukan oleh orangtua antara lain memperpanjang waktu
anak untuk berada di taman kanak-kanak, sementara kemungkinan anak sudah
mengalami kebosanan.
Oleh
karena itu, perlu menjadi pemikiran kira untuk mengembangkan sebuah program
pendidikan yang dapat menjembatani antara pendidikan anak usia dini dengan
jenjang pendidikan dasar atau biasa disebut sebagai bridging program. Program inilah yang akan mempersiapkan anak untuk
memasuki jenjang pendidikan dasar, yang notabene benar-benar berbeda dengan
pendidikan anak usia dini, sekaligus memfasilitasi anak-anak yang menurut
usianya (baik usia mental maupun usia kronoligis) belum bisa memasuki jenjang pendidikan dasar.
Dengan demikian, diharapkan anak-anak juga tidak menjadi “shock” ketika memasuki kelas-kelas awal sekolah dasar, di samping
juga mengurangi tingkat “penolakan anak terhadap sekolah” dan meningkatkan “school readiness”.
Sementara
jembatan ini belum terbangun,
orangtualah yang terlebih dahulu membangun kesiapan anak. Dalam arti,
pemahaman orangtua terhadap tingkat perkembangan anak menjadi hal yang sangat
penting, sehingga dapat memutuskan, apakah seorang anak sudah waktunya memasuki
jenjang pendidikan dasar atau masih tetap berada dalam fase pendidikan anak
usia dini. Orangtua hendaknya tidak memaksakan sebuah kemampuan yang memang
belum dapat dikuasai oleh anak hanya untuk memasuki jenjang pendidikan dasar.
Dengan demikian, berbagai permasalahan yang mungkin timbul ketika anak sudah
berada dalam jenjang pendidikan dasar dapat diminimalisir, dan anak-anak kita
menjadi anak yang gemar bersekolah, dan bukan malah “phobi sekolah”.
(Surabaya,
22 Pebruari 2012; Salam, Widya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar