Kamis, 15 Desember 2011

Sepenggal catatan tentang : Kesantunan Sosial



Baru-baru ini saya mengikuti diskusi ilmiah di sebuah kampus ternama di kota Surabaya. Dalam diskusi tersebut, dihadirkan narasumber salah seorang pakar perkembangan anak, dan diikuti oleh peserta yang terdiri atas pemerhati anak serta para profesional yang berkaitan dengan perkembangan, pertumbuhan dan kesehatan anak. Secara khusus, diskusi tersebut membahas tentang anak-anak yang mengalami malnutrisi (salah gizi) dan penanganannya.

Sebagaimana diskusi biasanya, pasti ada peserta yang tidak atau kurang setuju dengan konsep yang disampaikan oleh pembicara. Akan tetapi, hal yang luar biasa adalah ketidaksetujuan ataupun sanggahan tersebut disajikan dalam kesantunan sikap, bahasa dan tingkah laku, sehingga tampak perilaku yang saling menghargai dan menghormati perbedaan. Di sana tidak nampak upaya untuk merendahkan atau menjatuhkan seseorang. Sungguh, sebuah kesantunan yang dibangun oleh masyarakat akademik, dengan mengedepankan toleransi dan keberadaban, serta tidak menunjukkan keangkuhan atas pengetahuan dan pengalaman individu, padahal para peserta yang hadir di dalam forum tersebut adalah orang-orang ternama, yang memiliki pengalaman, pengetahuan dan pemahaman luas, serta berpendidikan tinggi.

Kesantunan seperti ini apabila menular ke masyarakat yang lebih luas, dan setiap hari disaksikan oleh anak-anak kita yang sedang dalam proses mengembangkan karakter, pasti akan mampu mewujudkan masyarakat yang lebih beradab. Pembangunan kesantunan sosial pada dasarnya dimulai dari setiap individu. Pada hakekatnya, sesungguhnya manusia telah dibentuk menjadi manusia yang santun, yang dimulai dari tingkatan sel yang ada dalam tubuh manusia itu sendiri.

Coba kita kaji tubuh kita masing-masing dan mekanisme kerjanya. Setiap individu dibentuk dari 2 sel yang menyatu, yaitu ovum dan sperma. Sel yang menyatu ini kemudian membelah menjadi lebih banyak sel. Setiap sel baru, meski dengan komposisi yang sama, menjalankan fungsinya masing-masing. Sel yang bertanggung jawab atas pembentukan jantung membentuk jantung dengan sempurna hinggap mampu berdegub memompa darah tiada henti. Sel yang bertanggung jawab atas pembentukan mata, membentuk mata dengan sempurna, hingga dapat menyaksikan keindahan dunia sebagai ciptaan Allah SWT, demikian pula dengan sel-sel yang lainnya. Tidak ada sel yang ingin berubah fungsi. Sel pada kuku, tidak pernah ingin menjadi sel rambut, sel hidung tidak pernah ingin menjadi sel telinga.

Semua sel tubuh menerima dan menjalankan tugas serta fungsinya dengan penuh tanggung jawab. Sel-sel tubuh manusia pada bagian tertentu tidak pernah merasa iri terhadap tugas dan tanggung jawab sel-sel tubuh yang lainnya. Sel-sel rambut tidak pernah iri dengan sel-sel jantung yang penuh dengan aliran darah. Sel-sel pada saluran pembuangan, yang bertanggung jawab atas pembuangan kotoran, juga tidak pernah iri dengan sel-sel otak yang bertanggung jawab atas kecerdasan manusia, ataupun pada sel-sel rambut yang selalu disanjung hingga disebut sebagai mahkota. Sel-sel paru-paru, yang tidak pernah beristirahat sepanjang hidup manusia, tidak pernah iri dengan sel-sel mata, yang bisa beristirahat setiap saat. Semua sel bekerja sama, bahu membahu, saling menjaga, melindungi, menghormati dan menghargai, sesuai dengan fungsinya masing-masing, sehingga tubuh manusia dapat berfungsi dengan sempurna.

Kita hidup, sehat, dan dapat berkarya, karena sel-sel tubuh kita begitu santunnya dalam bekerja. Lalu, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, mengapa ketika kita hidup di masyarakat, kesantuan ini menjadi barang yang langka?

Kita sangat sulit menjaga lisan kita, hati kita, mata kita, pendengaran kita, pemikiran kita dan bahkan tingkah laku kita, padahal, tubuh kita sendiri telah mengajarkan hal tersebut. Inilah yang patut menjadi renungan kita semua, apabila kita berharap kesantunan menjadi karakter kepribadian kita dan anak cucu kita nantinya.  
(Surabaya, 16 Desember 2011; Salam, Widya)

Rabu, 14 Desember 2011

Kaitan antara Perkembangan Kognitif Anak dengan Kemampuan Anak dalam Merespons Kesulitan


Salah satu aspek kesehatan psikologis berkaitan dengan perkembangan kognitif. Dimensi perkembangan kognitif  berkaitan dengan daya nalar atau daya pikir anak yang berhubungan dengan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanfaatan kembali  informasi melalui proses memori (Santrock, 1995). Proses tersebut salah satunya berkaitan dengan kemampuan anak dalam memecahkan masalah, mengatasi konflik, dan berbagai kesulitan lainnya, yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.
Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa ada anak yang mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan namun ada pula yang pantang menyerah walaupun mengalami kesulitan atau kegagalan berkali-kali. Sebagai contoh anak yang sedang belajar menaiki sepeda. Ada anak yang ketika terjatuh bangkit lagi dan belajar lagi sampai bisa menaiki sepeda, akan tetapi ada pula yang menyerah dan bahkan takut untuk mencoba lagi ketika terjatuh dari sepeda. Pada saat bermain, ada anak yang mudah menyerah ketika mengalami kesulitan dalam memasang puzzle, namun ada pula yang terus mencoba hingga berhasil (Stolzt, 2000).
Di sisi lain, seiring dengan perkembangan jaman, anak dihadapkan pada berbagai kesulitan sejak masa kanak-kanak (childhood adversity)  mulai dari yang ringan hingga berat, misalnya child abuse, ketidakharmonisan keluarga, pola disiplin yang kurang atau tidak konsisten, child maltreatment, child trauma, dan childhood stressful events (Lumley, 2007; Diane, 2007).
Oleh karena itu, anak diharapkan memiliki respons yang baik terhadap berbagai kesulitan. Kemampuan merespons kesulitan apabila tertanam sejak dini akan menjadi sebuah kebiasaan atau perilaku menetap, yang akan terus dibawa kelak ketika anak menjadi remaja atau dewasa. Kemampuan menghadapi kesulitan yang baik merupakan dasar bagi terbentuknya pribadi tangguh. Syarif  (2009)  menyebutkan bahwa anak yang tangguh akan mampu mengontrol emosi dan membentuk tindakan yang mengubah kejadian penuh stres menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi diri. Dengan demikian, individu tersebut memiliki kepribadian tangguh dan dapat menjalani kehidupan  serta mengisinya dengan berbagai pengalaman yang menyenangkan. Hal ini diperkuat oleh Istono (1999) bahwa individu yang memiliki kepribadian tangguh akan lebih kuat dalam menghadapi berbagai kenyataan dan beradaptasi secara lebih efektif terhadap kejadian yang penuh dengan tekanan apabila dibandingkan dengan individu yang lemah.
Putri (2008) menyatakan bahwa individu yang berkepribadian tangguh memiliki tingkat keyakinan yang tinggi, dapat mempengaruhi dan mengendalikan berbagai peristiwa yang terjadi atas dirinya (control). Individu juga memiliki kecenderungan untuk melibatkan diri dalam aktivitas yang sedang dihadapi (commitment) dan memandang suatu perubahan yang terjadi sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri, bukan sebagai ancaman terhadap rasa aman (challenge). Tipe kepribadian tangguh memberikan konstelasi  yang menguntungkan bagi seseorang untuk mengatasi tekanan hidup sehingga menjadi pribadi yang  tahan banting.
Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa individu yang berkepribadian tangguh memiliki penyesuaian diri yang lebih efektif terhadap peristiwa yang menimbulkan stres. Penelitian yang dilakukan oleh Faridah (2004) membuktikan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepribadian tangguh dengan kecenderungan somatisasi (gangguan fisik yang diakibatkan oleh gangguan psikologis).  Semakin tinggi ketangguhan kepribadian seseorang, semakin rendah kecenderungan somatisasinya, demikian pula sebaliknya.
Penelitian serupa dilakukan oleh Yayasan Topeka dan rumah sakit Chestnut Lodge, Maryland, Amerika Serikat, pada tahun 1987,  mengenai kehidupan keluarga dengan ibu menderita paranoia skizopfrenik. Dua anak perempuan dari keluarga tersebut mengalami hal yang sama, tetapi seorang anak laki-lakinya sama sekali tidak menderita paranoia skizofrenik serta tidak terpengaruh kondisi tersebut. Anak laki-laki tersebut berhasil menyelesaikan pendidikan di universitas dan menjadi sarjana hukum yang brilian. Penelitian tersebut  juga mengungkapkan mengenai anak-anak yang berasal dari Pulau Kauai, Hawaii, sebuah kawasan perkebunan gula, yang pada tahun 50-an dikenal sebagai daerah miskin. Sebagian besar anak  yang tumbuh di lingkungan ini mengalami gangguan emosional dan pada usia 7 – 10 tahun mengidap kelainan psikologis, namun ternyata satu di antara 10 anak bisa tumbuh dengan baik, menempuh masa-masa sulit, mampu bertahan (survive), intelektualnya berkembang, mencapai karier di atas rata-rata, dan muncul sebagai sosok yang menonjol. Mereka inilah anak-anak tangguh yang mampu merespons kesulitan dengan baik.
Ada pula kisah dari negeri seberang, pada tahun 2007, mengenai anak tangguh dengan kemampuannya yang luar biasa untuk merespons kesulitan, bernama Zhang Da, berasal dari propinsi Zhejiang, Cina. Pada usia 10 tahun Zhang Da harus bergulat dengan kemiskinan, tetap bersekolah, merawat dan mengobati ayahnya yang lumpuh dan ditinggalkan oleh ibunya. Dia tidak menyerah dan memikul tanggung  jawab untuk melanjutkan kehidupannya dan ayahnya. Pada saat ini Zhang Da berusia 15 tahun  dan mendapatkan penghargaan dari pemerintah Cina sebagai anak luar biasa.
Di tanah air  juga terdapat kisah mengenai anak yang tangguh sebagaimana ditulis oleh Irfan (2010). Perempuan kecil bernama Sinar, berusia 6 tahun, tinggal di pedalaman hutan Polewali Mandar, Sulawesi Selatan. Selama bertahun-tahun Sinar harus mengurus dan merawat ibunya yang lumpuh, sementara ayahnya telah meninggalkannya sejak usia 4 tahun. Dia memikul tanggung jawab dengan semangat pantang menyerah dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, yaitu berada dalam hutan, rumah tidak layak huni, tanpa listrik, dan tanpa pendukung kehidupan lainnya yang memadai. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa anak tangguh mampu merespons berbagai kesulitan yang dialami pada masa kanak-kanak dengan baik.
Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa kesulitan pada masa kanak-kanak yang tidak dihadapi dengan baik memberikan dampak negatif terhadap perkembangan selanjutnya karena dapat mempengaruhi dan membahayakan kehidupan anak kelak dewasa (Harkness, 2002; Lumley, 2007; Pediatrics, 2008; Maunder, 2008). 
Para peneliti dari University College London pada tahun 2008 menyebutkan bahwa kesulitan pada masa kanak-kanak (childhood adversity) apabila tidak direspons dengan baik mengakibatkan timbulnya obesitas ketika dewasa dan meningkatkan risiko terjadinya diabetes tipe 2. Hal ini dipertegas oleh penelitian Foley (2004) yang meneliti hubungan antara kesulitan pada masa anak-anak (childhood adversity), tipe genotipe monoamine oksidase A dan perilaku menyimpang  pada anak laki-laki kembar usia 8 – 17 tahun, mendapatkan hasil bahwa kepribadian anak-anak yang bersifat antisosial berkaitan dengan pola asuh yang buruk disertai oleh kemampuan dalam menghadapi kesulitan yang rendah.
Kemampuan merespons kesulitan sesungguhnya terprogram dalam otak. Otak mampu membedakan antara individu yang memiliki kemampuan merespons kesulitan antara  yang tinggi dan rendah melalui bahan kimiawi yang dikeluarkan oleh tubuh. Bahan ini merembes ke seluruh tubuh, sehingga dapat berpengaruh pada tingkat seluler. Individu yang memliki kemampuan merespons kesulitan dengan baik adalah individu yang tangguh. Individu yang tangguh memiliki energi positif yang tinggi ketika mengalami kesulitan (Stolzt, 2000). Energi ini terus mengalir hingga tumbuh menjadi remaja dan dewasa.
Werner (1974) (Stolzt, 2000) menyatakan bahwa anak tangguh merupakan anak yang ulet serta perencana yang baik sehingga tumbuh menjadi orang yang mampu menyelesaikan masalah dan memanfaatkan peluang. Riset Werner juga menyebutkan bahwa anak yang ulet tersebut tumbuh menjadi generasi yang memiliki kesehatan baik.
Masa depan penuh dengan tantangan, peluang dan juga kesulitan. Oleh karena itu, diperlukan generasi tangguh yang dapat bertahan dalam setiap situasi, mampu menghadapi setiap kesulitan dengan baik, serta menjawab setiap tuntutan yang semakin tinggi dalam perkembangan global. Generasi tangguh dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dalam segala kondisi, tidak menjadi anak yang maladaptive, memiliki tingkat kesehatan fisik dan psikis yang baik, serta dapat menjadikan kesulitan sebagai tantangan dan peluang untuk maju dan berprestasi. Kemampuan untuk merespons kesulitan dan mengubahnya menjadi peluang inilah yang disebut sebagai adversity response (AR).

(Surabaya, 14 Desember 2011: Salam, Widya)