Baru-baru ini
saya mengikuti diskusi ilmiah di sebuah kampus ternama di kota Surabaya. Dalam
diskusi tersebut, dihadirkan narasumber salah seorang pakar perkembangan anak, dan
diikuti oleh peserta yang terdiri atas pemerhati anak serta para profesional
yang berkaitan dengan perkembangan, pertumbuhan dan kesehatan anak. Secara
khusus, diskusi tersebut membahas tentang anak-anak yang mengalami malnutrisi
(salah gizi) dan penanganannya.
Sebagaimana
diskusi biasanya, pasti ada peserta yang tidak atau kurang setuju dengan konsep
yang disampaikan oleh pembicara. Akan tetapi, hal yang luar biasa adalah
ketidaksetujuan ataupun sanggahan tersebut disajikan dalam kesantunan sikap,
bahasa dan tingkah laku, sehingga tampak perilaku yang saling menghargai dan
menghormati perbedaan. Di sana tidak nampak upaya untuk merendahkan atau
menjatuhkan seseorang. Sungguh, sebuah kesantunan yang dibangun oleh masyarakat
akademik, dengan mengedepankan toleransi dan keberadaban, serta tidak
menunjukkan keangkuhan atas pengetahuan dan pengalaman individu, padahal para
peserta yang hadir di dalam forum tersebut adalah orang-orang ternama, yang
memiliki pengalaman, pengetahuan dan pemahaman luas, serta berpendidikan
tinggi.
Kesantunan
seperti ini apabila menular ke masyarakat yang lebih luas, dan setiap hari
disaksikan oleh anak-anak kita yang sedang dalam proses mengembangkan karakter,
pasti akan mampu mewujudkan masyarakat yang lebih beradab. Pembangunan
kesantunan sosial pada dasarnya dimulai dari setiap individu. Pada hakekatnya,
sesungguhnya manusia telah dibentuk menjadi manusia yang santun, yang dimulai
dari tingkatan sel yang ada dalam tubuh manusia itu sendiri.
Coba kita kaji
tubuh kita masing-masing dan mekanisme kerjanya. Setiap individu dibentuk dari
2 sel yang menyatu, yaitu ovum dan sperma. Sel yang menyatu ini kemudian
membelah menjadi lebih banyak sel. Setiap sel baru, meski dengan komposisi yang
sama, menjalankan fungsinya masing-masing. Sel yang bertanggung jawab atas
pembentukan jantung membentuk jantung dengan sempurna hinggap mampu berdegub
memompa darah tiada henti. Sel yang bertanggung jawab atas pembentukan mata,
membentuk mata dengan sempurna, hingga dapat menyaksikan keindahan dunia
sebagai ciptaan Allah SWT, demikian pula dengan sel-sel yang lainnya. Tidak ada
sel yang ingin berubah fungsi. Sel pada kuku, tidak pernah ingin menjadi sel
rambut, sel hidung tidak pernah ingin menjadi sel telinga.
Semua sel
tubuh menerima dan menjalankan tugas serta fungsinya dengan penuh tanggung
jawab. Sel-sel tubuh manusia pada bagian tertentu tidak pernah merasa iri
terhadap tugas dan tanggung jawab sel-sel tubuh yang lainnya. Sel-sel rambut
tidak pernah iri dengan sel-sel jantung yang penuh dengan aliran darah. Sel-sel
pada saluran pembuangan, yang bertanggung jawab atas pembuangan kotoran, juga
tidak pernah iri dengan sel-sel otak yang bertanggung jawab atas kecerdasan
manusia, ataupun pada sel-sel rambut yang selalu disanjung hingga disebut
sebagai mahkota. Sel-sel paru-paru, yang tidak pernah beristirahat sepanjang
hidup manusia, tidak pernah iri dengan sel-sel mata, yang bisa beristirahat
setiap saat. Semua sel bekerja sama, bahu membahu, saling menjaga, melindungi,
menghormati dan menghargai, sesuai dengan fungsinya masing-masing, sehingga
tubuh manusia dapat berfungsi dengan sempurna.
Kita hidup,
sehat, dan dapat berkarya, karena sel-sel tubuh kita begitu santunnya dalam
bekerja. Lalu, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, mengapa ketika kita
hidup di masyarakat, kesantuan ini menjadi barang yang langka?
Kita sangat
sulit menjaga lisan kita, hati kita, mata kita, pendengaran kita, pemikiran
kita dan bahkan tingkah laku kita, padahal, tubuh kita sendiri telah
mengajarkan hal tersebut. Inilah yang patut menjadi renungan kita semua, apabila
kita berharap kesantunan menjadi karakter kepribadian kita dan anak cucu kita
nantinya.
(Surabaya, 16 Desember 2011; Salam, Widya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar