Salah satu aspek kesehatan psikologis berkaitan dengan
perkembangan kognitif. Dimensi perkembangan kognitif berkaitan dengan daya nalar atau daya pikir
anak yang berhubungan dengan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanfaatan kembali informasi melalui proses memori (Santrock,
1995). Proses tersebut salah satunya berkaitan dengan kemampuan anak dalam
memecahkan masalah, mengatasi konflik, dan berbagai kesulitan lainnya, yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.
Fenomena di lapangan
menunjukkan bahwa ada anak yang mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan
namun ada pula yang pantang menyerah walaupun mengalami kesulitan atau
kegagalan berkali-kali. Sebagai contoh anak yang sedang belajar menaiki sepeda.
Ada anak yang ketika terjatuh bangkit lagi dan belajar lagi sampai bisa menaiki
sepeda, akan tetapi ada pula yang menyerah dan bahkan takut untuk mencoba lagi
ketika terjatuh dari sepeda. Pada saat bermain, ada anak yang mudah menyerah
ketika mengalami kesulitan dalam memasang puzzle,
namun ada pula yang terus mencoba hingga berhasil (Stolzt, 2000).
Di sisi lain, seiring dengan
perkembangan jaman, anak dihadapkan pada berbagai kesulitan sejak masa
kanak-kanak (childhood adversity) mulai dari yang ringan hingga berat, misalnya
child abuse, ketidakharmonisan
keluarga, pola disiplin yang kurang atau tidak konsisten, child
maltreatment, child trauma, dan childhood stressful events (Lumley, 2007; Diane, 2007).
Oleh karena itu, anak
diharapkan memiliki respons yang baik terhadap berbagai kesulitan. Kemampuan
merespons kesulitan apabila tertanam sejak dini akan menjadi sebuah kebiasaan
atau perilaku menetap, yang akan terus dibawa kelak ketika anak menjadi remaja
atau dewasa. Kemampuan menghadapi kesulitan yang baik merupakan dasar bagi
terbentuknya pribadi tangguh. Syarif
(2009) menyebutkan bahwa anak
yang tangguh akan mampu mengontrol emosi dan membentuk tindakan yang mengubah
kejadian penuh stres menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi diri. Dengan
demikian, individu tersebut memiliki kepribadian tangguh dan dapat menjalani
kehidupan serta mengisinya dengan
berbagai pengalaman yang menyenangkan. Hal ini diperkuat oleh Istono (1999)
bahwa individu yang memiliki kepribadian tangguh akan lebih kuat dalam
menghadapi berbagai kenyataan dan beradaptasi secara lebih efektif terhadap
kejadian yang penuh dengan tekanan apabila dibandingkan dengan individu yang
lemah.
Putri (2008) menyatakan
bahwa individu yang berkepribadian tangguh memiliki tingkat keyakinan yang
tinggi, dapat mempengaruhi dan mengendalikan berbagai peristiwa yang terjadi
atas dirinya (control). Individu juga memiliki kecenderungan untuk
melibatkan diri dalam aktivitas yang sedang dihadapi (commitment) dan memandang suatu perubahan
yang terjadi sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri, bukan sebagai ancaman
terhadap rasa aman (challenge). Tipe kepribadian tangguh memberikan
konstelasi yang menguntungkan bagi
seseorang untuk mengatasi tekanan hidup sehingga menjadi pribadi yang tahan banting.
Beberapa hasil penelitian
menyimpulkan bahwa individu yang berkepribadian tangguh memiliki penyesuaian
diri yang lebih efektif terhadap peristiwa yang menimbulkan stres. Penelitian
yang dilakukan oleh Faridah (2004) membuktikan bahwa terdapat hubungan negatif
antara kepribadian tangguh dengan kecenderungan somatisasi (gangguan fisik yang
diakibatkan oleh gangguan psikologis).
Semakin tinggi ketangguhan kepribadian seseorang, semakin rendah
kecenderungan somatisasinya, demikian pula sebaliknya.
Penelitian serupa dilakukan
oleh Yayasan Topeka dan rumah sakit Chestnut Lodge, Maryland, Amerika Serikat,
pada tahun 1987, mengenai kehidupan
keluarga dengan ibu menderita paranoia skizopfrenik. Dua anak perempuan dari
keluarga tersebut mengalami hal yang sama, tetapi seorang anak laki-lakinya
sama sekali tidak menderita paranoia skizofrenik serta tidak terpengaruh
kondisi tersebut. Anak laki-laki tersebut berhasil menyelesaikan pendidikan di
universitas dan menjadi sarjana hukum yang brilian. Penelitian tersebut juga mengungkapkan mengenai anak-anak yang
berasal dari Pulau Kauai, Hawaii, sebuah kawasan perkebunan gula, yang pada
tahun 50-an dikenal sebagai daerah miskin. Sebagian besar anak yang tumbuh di lingkungan ini mengalami
gangguan emosional dan pada usia 7 – 10 tahun mengidap kelainan psikologis,
namun ternyata satu di antara 10 anak bisa tumbuh dengan baik, menempuh
masa-masa sulit, mampu bertahan (survive),
intelektualnya berkembang, mencapai karier di atas rata-rata, dan muncul
sebagai sosok yang menonjol. Mereka inilah anak-anak tangguh yang mampu
merespons kesulitan dengan baik.
Ada pula kisah dari negeri
seberang, pada tahun 2007, mengenai anak tangguh dengan kemampuannya yang luar
biasa untuk merespons kesulitan, bernama Zhang Da, berasal dari propinsi
Zhejiang, Cina. Pada usia 10 tahun Zhang Da harus bergulat dengan kemiskinan,
tetap bersekolah, merawat dan mengobati ayahnya yang lumpuh dan ditinggalkan
oleh ibunya. Dia tidak menyerah dan memikul tanggung jawab untuk melanjutkan kehidupannya dan
ayahnya. Pada saat ini Zhang Da berusia 15 tahun dan mendapatkan penghargaan dari pemerintah
Cina sebagai anak luar biasa.
Di tanah air juga terdapat kisah mengenai anak yang
tangguh sebagaimana ditulis oleh Irfan (2010). Perempuan kecil bernama Sinar,
berusia 6 tahun, tinggal di pedalaman hutan Polewali Mandar, Sulawesi Selatan.
Selama bertahun-tahun Sinar harus mengurus dan merawat ibunya yang lumpuh,
sementara ayahnya telah meninggalkannya sejak usia 4 tahun. Dia memikul
tanggung jawab dengan semangat pantang menyerah dalam kondisi lingkungan yang
tidak menguntungkan, yaitu berada dalam hutan, rumah tidak layak huni, tanpa
listrik, dan tanpa pendukung kehidupan lainnya yang memadai. Gambaran tersebut
menunjukkan bahwa anak tangguh mampu merespons berbagai kesulitan yang dialami
pada masa kanak-kanak dengan baik.
Beberapa penelitian
terdahulu juga menunjukkan bahwa kesulitan pada masa kanak-kanak yang tidak
dihadapi dengan baik memberikan dampak negatif terhadap perkembangan
selanjutnya karena dapat mempengaruhi dan membahayakan kehidupan anak kelak
dewasa (Harkness, 2002; Lumley, 2007; Pediatrics, 2008; Maunder, 2008).
Para peneliti dari
University College London pada tahun 2008 menyebutkan bahwa kesulitan pada masa
kanak-kanak (childhood adversity)
apabila tidak direspons dengan baik mengakibatkan timbulnya obesitas ketika
dewasa dan meningkatkan risiko terjadinya diabetes tipe 2. Hal ini dipertegas
oleh penelitian Foley (2004) yang meneliti hubungan antara kesulitan pada masa
anak-anak (childhood adversity), tipe
genotipe monoamine oksidase A dan perilaku menyimpang pada
anak laki-laki kembar usia 8 – 17 tahun, mendapatkan hasil bahwa kepribadian
anak-anak yang bersifat antisosial berkaitan dengan pola asuh yang buruk
disertai oleh kemampuan dalam menghadapi kesulitan yang rendah.
Kemampuan merespons
kesulitan sesungguhnya terprogram dalam otak. Otak mampu membedakan antara
individu yang memiliki kemampuan merespons kesulitan antara yang tinggi dan rendah melalui bahan kimiawi
yang dikeluarkan oleh tubuh. Bahan ini merembes ke seluruh tubuh, sehingga
dapat berpengaruh pada tingkat seluler. Individu yang memliki kemampuan
merespons kesulitan dengan baik adalah individu yang tangguh. Individu yang
tangguh memiliki energi positif yang tinggi ketika mengalami kesulitan (Stolzt,
2000). Energi ini terus mengalir hingga tumbuh menjadi remaja dan dewasa.
Werner (1974) (Stolzt, 2000)
menyatakan bahwa anak tangguh merupakan anak yang ulet serta perencana yang
baik sehingga tumbuh menjadi orang yang mampu menyelesaikan masalah dan
memanfaatkan peluang. Riset Werner juga menyebutkan bahwa anak yang ulet tersebut
tumbuh menjadi generasi yang memiliki kesehatan baik.
Masa depan penuh dengan
tantangan, peluang dan juga kesulitan. Oleh karena itu, diperlukan generasi
tangguh yang dapat bertahan dalam setiap situasi, mampu menghadapi setiap
kesulitan dengan baik, serta menjawab setiap tuntutan yang semakin tinggi dalam
perkembangan global. Generasi tangguh dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
dalam segala kondisi, tidak menjadi anak yang maladaptive, memiliki tingkat kesehatan fisik dan psikis yang baik,
serta dapat menjadikan kesulitan sebagai tantangan dan peluang untuk maju dan
berprestasi. Kemampuan untuk merespons kesulitan dan mengubahnya menjadi
peluang inilah yang disebut sebagai adversity
response (AR).
(Surabaya, 14 Desember 2011: Salam, Widya)
Indonesia sangat membutuhkan generasi tangguh. Berbagai peristiwa kekerasan, korupsi,penipuan, dan tindak kejahatan lain adalah bentuk2 keputusasaan yang telah lama mengendap dalam benak para pelaku kontrasosial tersebut.
BalasHapus