Kita kerapkali
mendengar, bahkan menyaksikan berbagai peristiwa di masyarakat yang berkaitan
dengan nilai-nilai karakter. Salah satunya adalah kesantunan. Kita sering
melihat kurang santunnya banyak pengguna jalan raya, saling menyerobot,
kebut-kebutan, bahkan sampai pada tindakan saling memaki hanya karena
menganggap pengemudi lain bertindak tidak sopan, yang berujung pada timbulnya
kericuhan atau kecelakaan yang membahayakan keselamatan pengguna jalan.
Betapa banyak
orang yang beradu bicara, bahkan sampai beradu otot, hanya untuk hal-hal yang
sesungguhnya bisa diselesaikan. Di dalam sebuah pertemuan, tidak jarang
perdebatan menjadi pertengkaran yang berujung pada kekacauan. Tidak ada lagi
penghormatan terhadap budaya untuk saling mendengar, memahami dan mengerti.
Kesantunan
sepertinya mulai terkikis, dan yang terjadi adalah kelunturan nilai-nilai luhur
yang dijunjung oleh bangsa ini. Sesungguhnyan kesantunan terkait erat dengan
perkembangan moral seseorang. Seorang ahli perkembangan moral, Kolhberg,
mengemukakan bahwa terdapat tiga tahap perkembangan moral, yaitu
pra-conventional, conventional dan post conventional. Ketidaksantunan merupakan
cerminan tahap perkembangan moral pra-conventional, yang setara dengan anak
usia 0 – 8 tahun. Kalau sudah demikian, apakah hal ini menunjukkan bahwa
sebagian masyarakat berada pada tahap belum dewasa, meskipun dari segi usia
kronologis mungkin sudah sangat matang?
Sesungguhnya,
kita dapat belajar kesantunan dari tubuh kita sendiri. Ketika sel-sel tubuh
mulai berkembang, mereka menempatkan diri sesuai dengan fitrahnya
masing-masing, meskipun sesungguhnya secara umum komposisi sel-sel tubuh
tersebut hampir sama. Sel-sel tubuh yang mendapatkan tugas berkembang menjadi
sel-sel rambut tidak pernah berkeinginan menjadi sel-sel jantung, demikian pula
sel-sel tubuh yang lain. Ketika
menjalankan fungsinya, sel-sel tubuh saling mendukung, menciptakan suasana yang
kondusif, bekerja dalam sebuah sistem harmonis, menciptakan simponi kehidupan,
sehingga seluruh bagian tubuh berfungsi sebagaimana mestinya.
Tidak ada sel
tubuh yang menyombongkan diri atas kemampuan yang dimilikinya, tidak ada yang memiliki
rasa iri, ingin menang sendiri ataupun ingin menunjukkan jasa-jasanya. Ketika
ada benda asing yang memasuki tubuh, sel-sel tubuh yang bertanggung jawab atas
pertahanan diri berusaha mengenali benda asing tersebut dengan baik sebelum
bertindak. Sel-sel tubuh tidak bertindak semena-mena tetapi penuh kehati-hatian
dan pertimbangan. Ketika ada sel-sel tubuh yang diserang penyakit, sel-sel
tubuh yang lain membangun pertahanan tubuh agar sel-sel yang sakit kembali
normal dan tubuh sehat kembali. Sungguh sebuah masyarakat sel yang damai.
Tubuh kita
adalah cerminan masyarakat yang santun dan saling mendukung. Ini adalah teladan
yang luar biasa. Lalu, mengapa kita tidak meneladani diri kita sendiri dan
mengubahnya menjadi individu yang berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh
sel-sel tubuh kita?
(salam, Widya)
luar biasa....,
BalasHapussering kali kita lupa, dan tidak jarang juga kita diingatkan kembali,
tulisan ini sungguh membuat kami di ingatkan kembali.
matur nuwun sangat, semoga tulisan ini berbuah pahala bagi penulisnya.
mohon berkenan tulisan ini kami bagi ke teman-teman lain.