Senin, 14 November 2011

Pendidikan Karakter, Membangun bukan Mengisi “Form Not Furnish”


Saat ini, bangsa kita sepertinya sedang berada dalam sebuah titik kritis menuju kehilangan jati diri. Banyak sekali peristiwa di tanah air yang menunjukkan fenomena tersebut. Generasi muda larut dalam kesenangan duniawi, korupsi merajalela, perbedaan berujung pertikaian, perselisihan berujung pada hilangnya nyawa, tawuran pada masyarakat akademik, anak-anak tidak lagi mengenal budaya bangsanya, bahkan, banyak di antara kita yang lupa, bahwa kita tumbuh, berkembang, hidup, makan, minum dan bernafas di bumi pertiwi. Apakah gerangan yang sedang terjadi? Apakah bangsa ini memang sedang menuju kehancuran, atau bangsa ini sedang dijajah perlahan-lahan untuk kemudian dilenyapkan dari percaturan dunia? Itulah pertanyaan mendasar, yang tidak sekedar memerlukan jawaban, tetapi membutuhkan perenungan mendalam dari nurani kita masing-masing.
Kita semua pasti tidak menginginkan bangsa ini tenggelam perlahan-lahan. Sungguh sebuah tragedi bila itu yang terjadi. Sebuah bangsa besar yang diperjuangkan dengan darah dan airmata, hilang begitu saja, hanya karena pewaris negeri ini lupa akan jati diri bangsa, lupa akan nilai-nilai luhur bumi pertiwi. Sebelum semuanya terjadi, kita patut segera sadar diri. Membangun kembali diri kita, mengangkat kembali harkat dan martabat bangsa ini. Negeri ini negeri yang luhur, memiliki tata nilai yang beradab, memiliki masyarakat yang santun, memiliki kekayaan yang melimpah. Inilah harta kita, pusaka yang wajib kita jaga bersama. Saat ini, tidak ada kata tidak, dan tidak lagi bisa ditunda, yang harus dilakukan adalah membangun kembali karakter bangsa melalui pendidikan karakter yang tepat. Pendidikan karakter saat ini adalah kebutuhan yang bersifat “darurat”. Semua elemen bangsa harus melakukan.
Pendidikan karakter bukan sekedar penanaman nilai-nilai kognitif, bukan sekedar pengetahuan, tetapi harus merupakan sebuah proses internalisasi. Proses internalisasi merupakan proses panjang, yang berjalan secara perlahan-lahan, sehingga menghasilkan sebuah produk yang berkualitas, yaitu karakter mulia. Proses internalisasi tidak bisa diajarkan, tetapi dilakukan melalui keteladanan dan pembiasaan.
Keteladanan memiliki peran yang luar biasa dalam penanaman karakter. Ibarat menanam pohon, keteladanan adalah tanah yang subur tempat semua tanaman bisa tumbuh, hidup dan berkembang, kemudian semua tanaman ini memberikan kemakmuran bagi makhluk hidup yang lainnya. Keteladanan dapat dilakukan oleh semua orang, semua elemen, dimanapun dan kapanpun belajar. Keteladanan memberikan “role model” bagi sebuah karakter mulia. Akan tetapi, keteladanan inilah yang pada saat ini sangat sulit ditemukan di negeri ini.
Keteladanan hampir menjadi barang langka di bumi tercinta ini, dan mungkin sama langkanya dengan spesies langka lainnya yang ada di muka bumi ini. Ketika kita berada di jalan, kita dapat mengamati, berapa banyak yang berlaku santun, berapa banyak yang berlaku disiplin, berapa banyak yang menghormati pejalan kaki, berapa banyak tidak buta huruf atau buta tanda atau buta warna? Ketika kita berada dalam sebuah zona pekerjaan, berapa banyak yang memiliki kinerja baik, berapa banyak yang memiliki komitmen dan konsistensi, berapa banyak yang mampu membangun sinergitas, berapa banyak yang mampu mendengarkan dengan baik, berapa banyak yang berpikiran terbuka? Ketika kita berada dalam sebuah antrian, berapa banyak yang mengantri dengan tertib, berapa banyak yang menaati aturan antrian. Ketika kita berada dalam sebuah keluarga, berapa banyak orangtua yang sanggup menjadi pendengar yang baik, berapa banyak orangtua yang memiliki komitmen, berapa banyak orangtua yang bisa menghargai anak-anaknya, berapa banyak orangtua yang konsisten terhadap aturan dalam keluarga? Kalau kita menjawab, banyak sekali, sungguh sesuatu yang luar biasa, karena itu menunjukkan bahwa bangsa ini masih ada. Karakter bangsa ini masih tertanam, tetapi bila jawabannya adalah sebaliknya, ini adalah bencana yang luar biasa. Akan tetapi, tidak ada kata terlambat, saat inilah, kita bersama-sama, harus bangkit, menguatkan kembali nilai-nilai karakter mulia yang kita miliki sebagai harta karun, yang harus kita gali kembali.
Pendidikan karakter sesungguhnya adalah membangun struktur pikiran bukan memgisi pikiran dengan nilai-nilai artifisial, sehingga nilai-nilai mulia terbentuk dalam pikiran setiap individu. Keteladanan memiliki kekuatan moral untuk membangun struktur pikiran. Hal ini sejalan dengan cara otak kita bekerja. Otak kita bekerja dengan dua cara, yaitu template dan transkripsi.
Ketika template berproses, cara bekerjanya tidak terpengaruh lingkungan. Hal-hal yang termasuk template antara lain refleks. Refleks bekerja secara spontan, menanggapi stimulus secara spesifik. Ketika otak bekerja dengan cara transkripsi, maka prosesnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Yang termasuk dalam hal ini adalah kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang. Kebiasaan ini sangat dupengaruhi oleh lingkungan, antara lain keteladanan dan pembiasaan itu sendiri.
Pembiasaan dalam rangka membentuk karakter mulia hendaknya dilakukan sejak dini. Ibarat menanam tanaman, sekali lagi, pembiasaan adalah pupuk yang baik. Pupuk yang baik mampu menjadikan tanaman tumbuh dan berkembang dengan baik. Pupuk inilah yang harus selalu diberikan. Pembiasaan yang baik akan dibawa hingga kelak dewasa. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Piaget, bahwa pengalaman masa kecil memiliki pengaruh ketika anak dewasa. Pengalaman ini salah satunya adalah pembiasaan.
Pembiasaan yang baik sejak dini membentuk pribadi-pribadi berkarakter luhur yang akan menjaga pusaka Indonesia. Apabila sejak dini anak terbiasa dengan perilaku mulia, seperti  bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, disiplin, tanggung jawab, memiliki komitmen, mendengarkan orang lain, hormat, santun, cinta tanah air, kerja keras, mandiri, berpikiran terbuka, tangguh, dan berani mengambil risiko, demikian pulalah ketika kelak tumbuh menjadi remaja atau dewasa.
Nilai-nilai ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memiliki esensi yang luar biasa dalam perkembangan anak di masa depan. Menanamkan nilai-nilai ketaqwaan berarti membangun generasi yang memiliki keimanan. Keimanan yang ditanamkan sejak dini diharapkan dapat membentuk generasi yang selalu dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan yang luhur. Hal ini ditumbuhkan sejak diri melalui pengenalan terhadap sifat-sifat Tuhan, pengenalan tata cara ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing melalui praktek, cerita, gambar dan aktivitas lainnya, pembiasaan berdoa sebelum melakukan aktivitas, pengenalan terhadap kebesaran Tuhan melalui ciptaan-ciptaanNya, dan sebagainya.
Nilai-nilai kejujuran ditanamkan melalui pembiasaan berkata yang baik dan benar, mengakui perbuatan dan hasil dari perbuatan, menanggung risiko atas tindakan. Berbagai aktivitas yang dikembangkan antara lain bermain dalam kelompok, rekreasi pendidikan ke berbagai pusat perbelanjaan.
Nilai-nilai kedisiplinan berkaitan dengan pemahaman dan implementasi berbagai aturan, norma yang berlaku secara universal di masyarakat. Nilai-nilai tersebut ditanamkan melalui pembiasaan  dalam berbagai aktivitas, seperti budaya antri, mengembalikan barang sesuai dengan tempatnya, merapikan peralatan pribadi, menaati waktu belajar atau bermain, menaati peraturan sederhana dalam keluarga atau sekolah dan sebagainya.
Pada dasarnya, pada setiap aktivitas anak dilakukan pembiasaan karakter mulia, sehingga akan terinternalisasi yang kelak terwujud dalam pribadi mulia di masa depan.


Terima kasih atas cintamu, Bunda
Terima kasih atas dukunganmu, Ayah
Semua itu membuat aku tumbuh
Terus tumbuh
Dan sanggup menghadapi kerasnya dunia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar