Perubahan dan perkembangan jaman
selalu terjadi, sangat cepat dan pesat, demikian pula pada bidang pendidikan.
Perubahan dan perkembangan tersebut harus segera disikapi dengan tepat, sejak
pendidikan anak usia dini, sehingga bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang
maju, dengan kualitas sumber daya manusia yang handal, unggul dan memiliki
akhlak mulai.
Pendidikan abad 21 mengalami perubahan
yang luar biasa, karena menghadapi tantangan untuk dapat menyiapkan anak di
masa depan, yang masa depan itu sendiri tidak dapat diprediksi saat ini. Bisa
jadi, tantangan, permasalahan, dan kecakapan yang diperlukan di masa depan,
belum terbayangkan pada saat ini. Berbagai bidang pekerjaan yang saat ini ada,
bisa jadi di masa depan sudah tidak ada lagi, mungkin juga muncul teknologi
baru, yang saat ini belum tergambarkan sama sekali. Oleh karena itu,
pendidikan, termasuk pendidikan anak usia dini, perlu mempersiapkan kecakapan dasar
untuk menyongsong masa depan. Kecakapan dasar yang dipercayai diperlukan dimasa depan yaitu kecakapan
komunikasi (communication),
kolaborasi (collaboration), berpikir
kritis (critical thinking), dan
bertindak kreatif (creative).
Kecakapan berpikir kritis (critical
thinking), dan bertindak kreatif (creative)
merupakan komponen dari kecakapan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills). Kecakapan dasar tersebut
diintegrasikan dengan berbagai kemampuan, antara lain membaca, sains,
teknologi, rekacipta, dan matematika.
Berdasarkan riset internasional
melalui PISA (OECD, 2018), yang terkait kemampuan membaca, matematika, dan
sains, kemampuan anak Indonesia (usia sekitar 15 tahun), masih berada pada
ranking bawah, meskipun sebenarnya sudah menunjukkan kenaikan dari tahun ke
tahun. Berdasarkan nilai rerata, terjadi
peningkatan nilai PISA Indonesia di tiga kompetensi yang diujikan. Peningkatan
terbesar terlihat pada kompetensi sains, dari 382 poin pada tahun 2012 menjadi
403 poin di tahun 2015. Dalam kompetensi matematika meningkat dari 375 poin di
tahun 2012 menjadi 386 poin di tahun 2015. Kompetensi membaca belum menunjukkan
peningkatan yang signifikan, dari 396 di tahun 2012 menjadi 397 poin di tahun
2015. Peningkatan tersebut mengangkat posisi Indonesia 6 peringkat ke atas bila
dibandingkan posisi peringkat kedua dari bawah pada tahun 2012. Berdasar nilai
median, capaian membaca siswa Indonesia meningkat dari 337 poin di tahun 2012
menjadi 350 poin di tahun 2015. Nilai matematika melonjak 17 poin dari 318 poin
di tahun 2012, menjadi 335 poin di tahun 2015. Lonjakan tertinggi terlihat pada
capaian sains yang mengalami kenaikan dari 327 poin di tahun 2012 menjadi 359
poin di tahun 2015. Peningkatan capaian nilai tengah (median) yang lebih tinggi dari rata-rata (mean) ini merupakan indikator yang baik dari sisi peningkatan akses
dan pemerataan kualitas secara inklusif.
Kita harus bergerak
cepat mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan, yang salah satunya
melalui peningkatan kualitas muatan pembelajaran. Masih rendahnya kecakapan
membaca, matematika dan sains, sangat terkait dengan kurikulum yang
diberlakukan pada setiap jenjang satuan pendidikan. Pada saat ini, kurikulum pendidikan yang terintegrasi
dengan STEM diyakini mampu menyiapkan anak menyongsong masa depan. Dalam Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia
Dini, dengan pendekatan saintifik yang diintegrasikan dengan kegiatan bermain,
muatan STEM sesungguhnya secara implisit sudah ada di dalamnya.
STEM merupakan akronim dari Sains (Science), Teknologi (Technology), Rekacipta (Engineering), Matematika (Mathematic). Akan tetapi, ini bukanlah
sekedar akronim. Di dalam STEM, terdapat berbagai disiplin ilmu, yang terkait
satu sama lain, tidak berdiri sendiri. Istilah STEM itu sendiri sekarang
berkembang luas. Ada yang menambahkan dengan A, yaitu Art (Seni), ada yang menambahkan dengan L, yaitu Literacy, ada pula yang menambahkan
dengan R, yaitu Religiusitas. Dalam panduan ini akan digunakan STEM, karena
seni, literasi dan religiusitas terintegrasi di dalam STEM.
Pesatnya penelitian di bidang
neurosains dan perkembangan anak menunjukkan bahwa arsitektur dasar otak anak
dikonstruksi melalui suatu proses yang bersifat terus menerus, yang dimulai
sejak dalam kandungan hingga dewasa, bahkan hingga tutup usia. Sebagaimana
membangun sebuah rumah, proses pembangunan dimulai dari membuat fondasi,
membuat desain rumah, dan merancang sistem kelistrikan yang aman serta dalam
rangkaian yang dapat diprediksi. Pengalaman awal membentuk bangunan/konstruksi
otak. Pondasi yang kuat pada usia dini meningkatkan kemungkinan optimalnya
perkembangan anak. Membangun interaksi positif untuk mengoptimalkan
perkembangan otak pada awal tahun-tahun kehidupannya adalah jauh lebih
efektif, dibandingkan apabila kita
lakukan pada tahun-tahun berikutnya, dan bahkan itu akan jauh lebih mahal,
karena mungkin saja diperlukan intervensi yang lebih lama dan sulit.
Lingkungan yang didesain kaya pengalaman,
sehingga memberikan banyak stimulasi positif untuk mengembangkan otak, akan
sangat berharga bagi anak. Salah satu desain lingkungan yang kaya adalah
memberikan kesempatan bagi anak untuk bermain, melakukan eksplorasi,
percobaan-percobaan serta mencipta. Dari sinilah awal dari kecakapan anak untuk
mengenal dan memperkuat serta menghubungkan lintas disiplin pengetahuan dalam
bentuk STEM dimulai. Anak yang terbiasa berpikir secara komprehensif akan mudah
untuk berpikir kritis, kreatif dan inovatif.
STEM ada dimana-mana, dalam setiap
sisi kehidupan kita. Di rumah, di sekolah, di lingkungan sekitar, dalam
hubungan kita dengan keluarga, teman, dan tetangga. STEM dapat disebut sebagai
cara berpikir, tentang bagaimana seharusnya pendidik – termasuk orang tua –
seharusnya membantu anak untuk mengintegrasikan pengetahuan lintas disiplin,
mendorong anak untuk berpikir dengan cara yang holistik dan terintegrasi satu
sama lainnya (Sneideman, 2013). Oleh karena itu, STEM dapat merupakan
pendekatan, metode, isi/muatan (content),
ataupun aktivitas. Dalam model ini, STEM merupakan muatan/isi dalam kegiatan
pembelajaran. Sebagai muatan pembelajaran, STEM terwujud dalam berbagai
aktivitas main yang dirancang oleh pendidik, sehingga muncul kecakapan anak
untuk berpikir tingkat tingkat.
Kecakapan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS)
meliputi kemampuan untuk melakukan analisis, evaluasi, mengembangkan dan
mencipta. Kecakapan berpikir tingkat tinggi memungkinkan anak untuk berpikir
kritis dan bertindak kreatif, yang terwujud dalam kemampuan untuk menncipta,
dan ini adalah sebagian dari keterampilan yang diperlukan pada abad 21, selain
komunikasi dan kolaborasi. Kegiatan main yang memiliki muatan STEM, mulai
menggeser dari aktivitas yang sarat dengan kecakapan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking Skills/LOTS), yaitu
memahami, menghafal dan menerapkan.
STEM menjadi hal yang penting dalam
implementasinya di satuan pendidikan, termasuk PAUD. Pada kenyataannya, belum
banyak satuan PAUD yang mengintegrasikan STEM dalam proses pembelajaran, karena
berbagai hal, misalnya kurangnya kemampuan pendidik, rendahnya rasa percaya
diri pada pendidik, ketidakpercayaan terhadap kompetensi dasar anak, anggapan
bahwa integrasi STEM dalam proses pembelajaran membutuhkan biaya mahal,
kurangnya dukungan orang tua, karena mengganggap bahwa kemampuan anak hanyalah
terkait dengan membaca, menulis dan berhitung guna kesiapan memasuki sekolah
favorit, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu adanya kegiatan bermain yang
mengintegrasikan STEM dalam setiap aktivitas bermain anak, yang pada dasarnya
adalah mengintegrasikannya dengan Kurikulum 2013 PAUD, sebagai bentuk
diversifikasi kurikulum secara eksplisit. Pada dasarnya, Kurikulum 2013
Pendidikan Anak Usia Dini dengan pendekatan saintifiknya sudah memiliki muatan
STEM, dan bahkan, STEM itu sendiri sudah ada dalam kehidupan sehari-hari
anak. STEM sesungguhnya sudah ada dalam
banyak aktivitas permainan tradisional yang ada di Indonesia.
Kegiatan bermain yang di dalamnya
terdapat muatan STEM pada dasarnya merupakan kegiatan yang menyenangkan,
memberikan anak berbagai pilihan main dan cara untuk memainkan alat dan bahan
(melakukan manipulasi/kreasi), melibatkan sebagian besar anggota tubuh,
termasuk panca indera, melibatkan imajinasi anak, sehingga kemampuan berpikir
kritis dan dan kreatif terbangun. Dengan demikian, integrasi tersebut
menunjukkan bahwa ciri-ciri bermain tampak jelas.
Kegiatan bermain yang mengintegrasikan STEM pada dasarnya
dapat diberikan sejak anak berada pada jenjang kelompok bermain, dengan kisaran
usia anak antara 3-4 tahun, karena karakteristik perkembangan anak pada jenjang
kelompok bermain menunjukkan kesiapan untuk bereksplorasi dan beraktivitas
secara lebih beragam untuk membangun dasar pengetahuan, teknologi, reka cipta
dan matematika. Selain itu kelompok bermain dipilih karena pada usia tersebut terjadi
perkembangan penting pada aspek fisik motorik, sensorimotorik, panca indera,
dan sosial emosional, terutama pada rasa
ingin tahu, percaya diri, dan sosialisasi. Dengan demikian
mengintegrasikan STEM dalam satuan Kelompok Bermain (KB) akan efektif untuk
mendukung perkembangan anak pada tahapan berikutnya.
Kegiatan bermain yang mengintegrasikan STEM pada dasarnya
dapat diberikan sejak anak berada pada jenjang kelompok bermain. Hal ini karena
karakteristik perkembangan anak pada jenjang kelompok bermain menunjukkan
kesiapan untuk bereksplorasi dan beraktivitas secara lebih beragam untuk
membangun dasar pengetahuan, teknologi, reka cipta dan matematika. Selain itu kelompok bermain dipilih karena pada
usia tersebut terjadi perkembangan penting pada aspek fisik motorik,
sensorimotorik, panca indera, dan sosial emosional, terutama pada rasa ingin tahu, percaya diri, dan sosialisasi.
Dengan demikian mengintegrasikan STEM dalam satuan Kelompok Bermain (KB) akan
efektif untuk mendukung perkembangan anak pada tahapan berikutnya.
Kegiatan bermain yang mengintegrasikan
STEM akan lebih optimal bila tersedia berbagai fasilitas yang memudahkan anak
mengembangkan kemampuan saintis, teknologi, reka cipta dan matematika. Di
daerah perkotaan tentunya fasilitas tersebut lebih mudah tersedia. Selain itu
kegiatan bermain yang mengintegrasikan
STEM diharapkan mampu menarik minat anak agar tidak terpaku pada penggunaan
gawai. Hal ini karena banyak anak usia dini yang berada di daerah perkotaan
lebih asyik dengan gawai, permainan-permainan yang bersifat individual, serta
menggunakan berbagai alat permainan yang siap pakai, sehingga yang kuat adalah lower order thinking skills (LOTS),
bukan higher order thinking skills
(HOTS).
Kegiatan bermain yang mengintegrasikan
STEM akan lebih optimal bila tersedia berbagai fasilitas yang memudahkan anak
mengembangkan kemampuan saintis, teknologi, reka cipta dan matematika. Di
daerah perkotaan tentunya fasilitas tersebut lebih mudah tersedia. Selain itu
kegiatan bermain yang mengintegrasikan
STEM diharapkan mampu menarik minat anak agar tidak terpaku pada penggunaan
gawai. Hal ini karena banyak anak usia dini yang berada di daerah perkotaan
lebih asyik dengan gawai, permainan-permainan yang bersifat individual, serta
menggunakan berbagai alat permainan yang siap pakai, sehingga yang kuat adalah lower order thinking skills (LOTS),
bukan higher order thinking skills
(HOTS). Namun, bukan berarti kegiatan main yang bermuatan STEM hanya bisa dilakukan
di daerah perkotaan, tetapi di daerah yang memiliki karakteristik lainnya juga
sangat memunhkinkan, karena daya dukungnya yang kaya, seperti perdesaan,
pegunungan, pantai dan sebagainya.
Dengan demikian, aktivitas di kelompok
bermain lebih menyenangkan, mengasyikkan dan bermakna bagi anak, yang
memungkinkan potensi anak berkembang tanpa batas. Pendidik hendaknya senantiasa
kreatif dan inovatif dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran,
sehingga anak terlibat aktif. Hal ini penting guna mengembangkan seluruh
potensi anak.
Surabaya, 02022020
Salam, Widya Ayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar