Kehidupan anak tidak terlepas dari berbagai
kesulitan dan stres, apalagi anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan yang berisiko. Lingkungan berisiko ini antara lain pola asuh yang
tidak tepat, kecenderungan mendapatkan kekerasan fisik, verbal ataupun psikis,
ketahanan pangan rendah, sanitasi lingkungan yang jelek, daerah rawan konflik,
dan sebagainya.
Beberapa
anak ditemukan memiliki kerentanan untuk menghadapi perubahan atau tekanan yang
mereka hadapi. Akan tetapi, tidak jarang pula, orang tua atau pendidik
mengeluhkan anak-anak memerlukan penyesuaian diri yang lama terhadap situasi
baru, atau anak yang trauma dengan pengalaman negatif, seperti kehilangan
sahabat, pindah rumah, nyaris tenggelam di kolam renang, atau menjadi korban
bencana alam seperti gempa (Ilham, 2007).
Sumber
stres, atau stresor, merupakan segala kondisi yang potensial memunculkan stres.
Tingkat stres yang diakibatkan pada masing-masing peristiwa (stresor) bersifat
sangat individual. Misalnya, anak yang orang tuanya bercerai memiliki reaksi
yang berbeda-beda antara satu anak dengan anak yang lain. Ada yang cenderung tidak terlalu terganggu
dan tetap mampu menjalankan aktivitas rutin sehari-hari, ada pula yang
mengalami gangguan tidur, sulit makan, atau mendapat nilai jelek di sekolah.
Hal
ini terjadi karena masing-masing anak memiliki perbedaan pemaknaan terhadap
situasi yang terjadi di hadapannya. Selain itu, reaksi orang dewasa di sekitar
anak merupakan faktor yang tidak dapat dilepaskan dari reaksi anak itu sendiri.
Seorang ibu yang tetap memberi perhatian yang memadai setelah terjadinya
perceraian tentu akan menghambat stres yang lebih besar daripada ibu yang
mengalami gangguan emosi yang cukup hebat (Kristiawati, 2007).
Anak
yang memiliki ketahanan stres (disebut juga resiliensi) adalah anak yang dapat
tetap menjalankan fungsinya dengan baik meskipun ketika berada dalam tekanan,
situasi sulit atau pengalaman traumatis. Maksud dari ”menjalankan fungsinya”
adalah anak tetap mampu mengatur diri dan menjalankan rutinitas sehari-hari dan
berkembang sebagaimana tugas perkembangannya serta tidak memunculkan
gejala-gejala yang tidak wajar.
Berbagai hal dapat memberi kontribusi terhadap
ketahanan stres pada anak (dan juga pada orang dewasa). Seorang anak yang tahan
terhadap stres umumnya adalah mereka yang memiliki keluarga yang hangat dan
anak-anak ini merasa memiliki orang tua yang siap memberi dukungan. Jika kita
adalah orang tua yang memiliki anak yang kehilangan sahabat, misalnya karena
pindah rumah, hendaknya kita menunjukkan pada anak bahwa dia boleh menangis di
hadapan kita dan tidak dihukum meskipun dia menjadi kehilangan nafsu makan.
Sebuah penelitian menemukan bahwa anak yang
memiliki ketahanan tinggi terhadap stres cenderung memiliki hubungan yang baik
dan ikatan emosi yang kuat dengan salah satu orang tuanya. Jika tidak,
sebaiknya anak dekat dengan pengasuh, atau orang dewasa lain yang cukup
kompeten menghadapi anak. Tingginya kecerdasan ternyata juga berkait dengan
tahan tidaknya seorang anak terhadap stres yang dialami.
Pemrosesan informasi yang efektif bisa jadi
menolong anak ini untuk mencari alternatif pemecahan masalah, mengatur
perilaku, melindungi diri sendiri, dan belajar dari pengalaman. Pengaruh lain
yang juga sering sebagai protective
factor adalah minimalnya faktor risiko, dan pengalaman penyeimbang. Semakin
sedikit faktor risiko yang dialami anak, semakin besar kemampuan anak untuk
mengatasi stres yang dihadapi. Faktor risiko ini antara lain perceraian orang
tua, pengalaman tinggal di panti asuhan, ayah atau ibu pelaku kriminal, ayah
atau ibu mengalami gangguan emosi.
Sebaliknya, pengalaman yang positif akan
menetralisasi efek negatif dari pengalaman traumatis anak. Pendidik yang ramah
dan menyenangkan, lingkungan sekolah yang membuat anak nyaman, prestasi yang
baik, atau penyaluran hobi di bidang musik, olah raga, atau seni, merupakan
kompensasi yang efektif untuk membentuk anak dengan resiliensi yang tinggi.
Sejak anak masih kecil, orang tua dapat mendidik
anak belajar menghadapi tekanan hidup. Kesempatan mengemukakan pendapat,
meskipun pada usia dini, dapat menjadi awal yang baik. Di samping hubungan
orang tua dan anak menjadi lebih baik, hal ini juga akan mengembangkan
kemampuan berpikirnya. Jika anak berkelahi dengan teman sepermainannya, jangan
buru-buru membela dia. Akan lebih bermanfaat mengajak anak memikirkan akibat
yang dapat terjadi jika dia berkelahi. Biasakanlah anak untuk meminta maaf dan
memaafkan.
Anak dapat dilatih menyalurkan emosi negatif ke
hal-hal positif. Akan lebih baik untuk meminimalkan faktor risiko seperti disebutkan
di atas. Akan tetapi jika tidak mungkin, meningkatkan faktor penyeimbang
merupakan ide cemerlang. Dalam hal eksplorasi bakat dan minat anak, orang tua
hendaklah lebih menghargai proses dan usaha anak daripada prestasi yang
dicapainya. Anak yang memiliki ketahanan tinggi terhadap stres memiliki
kepribadian yang ramah dan biasanya adalah mereka yang easy going.
Ajaklah anak untuk lebih menikmati kelebihan dan
kekurangan yang dimilikinya. Umumnya, anak-anak ini juga kreatif (sehingga
dapat menemukan sumber kebahagiaan di tempat lain secara positif), percaya diri
(dia meyakini akan melewati masa sulit yang dihadapi), dan memiliki motivasi
yang kuat (membuatnya terus bergairah menjalani hidup).
Perkembangan teknologi dan kemajuan zaman akan membawa
konsekuensi munculnya stresor yang lebih majemuk dan kompleks. Ketahanan
menghadapi stres akan semakin diperlukan di masa mendatang, maka dari itu,
semakin dini kita mengembangkannya, semakin menetap dan semakin mudah
pembentukannya.
Anak-anak mengalami jaman yang sulit, demikian
dikatakan oleh Paul J. Stoltz. Dikatakan mengalami jaman yang sulit karena
anak-anak banyak ditinggalkan orang tuanya, baik karena alasan bekerja maupun
alasan lainnya, sehingga pengasuhan tidak lagi dipegang sepenuhnya oleh orang
tua. Kondisi ini dapat menyebabkan kondisi kesehatan dan kesejahteraan anak
mengalami krisis, terutama pada periode kritis anak.
Berbagai pengalihan pengasuhan anak anak-anak di panti asuhan, yang
mungkin ditinggalkan secara permanen oleh orang tuanya karena berbagai alasan,
misalnya kematian, kemiskinan, kelahiran yang tidak dikehendaki atau
alasan-alasan lainnya. Bagaimanapun juga kondisi ini mempengaruhi status
kesehatan anak, terutama dalam hal tumbuh kembangnya.
Di sisi lain, dalam perkembangan selanjutnya, anak memerlukan kemampuan untuk menghadapi segala
permasalahan yang oleh Stolt digambarkan lebih dari sekedar kematangan
emosional. Kemampuan menghadapi kesulitan
inilah yang disebut sebagai adversity response.
Anak memiliki adversity
response yang berbeda-beda, dan berdasarkan pada penelitian yang dilakukan
oleh penulis, dari sampel penelitian, sebagian besar anak usia 5 – 6 tahun di
Kota Surabaya memiliki adversity response
sedang. Hal ini patut menjadi perhatian kita semua, karena tingkatan sedang
cenderung menurun menjadi rendah, dan untuk menghadapi perkembangan jaman yang
semakin kompleks, anak-anak perlu memiliki adversity
response yang tinggi. Kita perlu menyimak pola asuh kita terhadap anak-anak,
dan mengkaji ulang pada diri kita masing-masing, sudah tepatkah pola asuh yang
kita terapkan?
(Surabaya, 20 Januari 2012..Salam, Widya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar