Jumat, 20 Januari 2012

Stres dan Adversity Response



Kehidupan anak tidak terlepas dari berbagai kesulitan dan stres, apalagi anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang berisiko. Lingkungan berisiko ini antara lain pola asuh yang tidak tepat, kecenderungan mendapatkan kekerasan fisik, verbal ataupun psikis, ketahanan pangan rendah, sanitasi lingkungan yang jelek, daerah rawan konflik, dan sebagainya.
Beberapa anak ditemukan memiliki kerentanan untuk menghadapi perubahan atau tekanan yang mereka hadapi. Akan tetapi, tidak jarang pula, orang tua atau pendidik mengeluhkan anak-anak memerlukan penyesuaian diri yang lama terhadap situasi baru, atau anak yang trauma dengan pengalaman negatif, seperti kehilangan sahabat, pindah rumah, nyaris tenggelam di kolam renang, atau menjadi korban bencana alam seperti gempa (Ilham, 2007).
Sumber stres, atau stresor, merupakan segala kondisi yang potensial memunculkan stres. Tingkat stres yang diakibatkan pada masing-masing peristiwa (stresor) bersifat sangat individual. Misalnya, anak yang orang tuanya bercerai memiliki reaksi yang berbeda-beda antara satu anak dengan anak yang lain. Ada yang cenderung tidak terlalu terganggu dan tetap mampu menjalankan aktivitas rutin sehari-hari, ada pula yang mengalami gangguan tidur, sulit makan, atau mendapat nilai jelek di sekolah.
Hal ini terjadi karena masing-masing anak memiliki perbedaan pemaknaan terhadap situasi yang terjadi di hadapannya. Selain itu, reaksi orang dewasa di sekitar anak merupakan faktor yang tidak dapat dilepaskan dari reaksi anak itu sendiri. Seorang ibu yang tetap memberi perhatian yang memadai setelah terjadinya perceraian tentu akan menghambat stres yang lebih besar daripada ibu yang mengalami gangguan emosi yang cukup hebat (Kristiawati, 2007).
Anak yang memiliki ketahanan stres (disebut juga resiliensi) adalah anak yang dapat tetap menjalankan fungsinya dengan baik meskipun ketika berada dalam tekanan, situasi sulit atau pengalaman traumatis. Maksud dari ”menjalankan fungsinya” adalah anak tetap mampu mengatur diri dan menjalankan rutinitas sehari-hari dan berkembang sebagaimana tugas perkembangannya serta tidak memunculkan gejala-gejala yang tidak wajar.
Berbagai hal dapat memberi kontribusi terhadap ketahanan stres pada anak (dan juga pada orang dewasa). Seorang anak yang tahan terhadap stres umumnya adalah mereka yang memiliki keluarga yang hangat dan anak-anak ini merasa memiliki orang tua yang siap memberi dukungan. Jika kita adalah orang tua yang memiliki anak yang kehilangan sahabat, misalnya karena pindah rumah, hendaknya kita menunjukkan pada anak bahwa dia boleh menangis di hadapan kita dan tidak dihukum meskipun dia menjadi kehilangan nafsu makan.
Sebuah penelitian menemukan bahwa anak yang memiliki ketahanan tinggi terhadap stres cenderung memiliki hubungan yang baik dan ikatan emosi yang kuat dengan salah satu orang tuanya. Jika tidak, sebaiknya anak dekat dengan pengasuh, atau orang dewasa lain yang cukup kompeten menghadapi anak. Tingginya kecerdasan ternyata juga berkait dengan tahan tidaknya seorang anak terhadap stres yang dialami.
Pemrosesan informasi yang efektif bisa jadi menolong anak ini untuk mencari alternatif pemecahan masalah, mengatur perilaku, melindungi diri sendiri, dan belajar dari pengalaman. Pengaruh lain yang juga sering sebagai protective factor adalah minimalnya faktor risiko, dan pengalaman penyeimbang. Semakin sedikit faktor risiko yang dialami anak, semakin besar kemampuan anak untuk mengatasi stres yang dihadapi. Faktor risiko ini antara lain perceraian orang tua, pengalaman tinggal di panti asuhan, ayah atau ibu pelaku kriminal, ayah atau ibu mengalami gangguan emosi.
Sebaliknya, pengalaman yang positif akan menetralisasi efek negatif dari pengalaman traumatis anak. Pendidik yang ramah dan menyenangkan, lingkungan sekolah yang membuat anak nyaman, prestasi yang baik, atau penyaluran hobi di bidang musik, olah raga, atau seni, merupakan kompensasi yang efektif untuk membentuk anak dengan resiliensi yang tinggi.
Sejak anak masih kecil, orang tua dapat mendidik anak belajar menghadapi tekanan hidup. Kesempatan mengemukakan pendapat, meskipun pada usia dini, dapat menjadi awal yang baik. Di samping hubungan orang tua dan anak menjadi lebih baik, hal ini juga akan mengembangkan kemampuan berpikirnya. Jika anak berkelahi dengan teman sepermainannya, jangan buru-buru membela dia. Akan lebih bermanfaat mengajak anak memikirkan akibat yang dapat terjadi jika dia berkelahi. Biasakanlah anak untuk meminta maaf dan memaafkan.
Anak dapat dilatih menyalurkan emosi negatif ke hal-hal positif. Akan lebih baik untuk meminimalkan faktor risiko seperti disebutkan di atas. Akan tetapi jika tidak mungkin, meningkatkan faktor penyeimbang merupakan ide cemerlang. Dalam hal eksplorasi bakat dan minat anak, orang tua hendaklah lebih menghargai proses dan usaha anak daripada prestasi yang dicapainya. Anak yang memiliki ketahanan tinggi terhadap stres memiliki kepribadian yang ramah dan biasanya adalah mereka yang easy going.
Ajaklah anak untuk lebih menikmati kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Umumnya, anak-anak ini juga kreatif (sehingga dapat menemukan sumber kebahagiaan di tempat lain secara positif), percaya diri (dia meyakini akan melewati masa sulit yang dihadapi), dan memiliki motivasi yang kuat (membuatnya terus bergairah menjalani hidup).
Perkembangan teknologi dan kemajuan zaman akan membawa konsekuensi munculnya stresor yang lebih majemuk dan kompleks. Ketahanan menghadapi stres akan semakin diperlukan di masa mendatang, maka dari itu, semakin dini kita mengembangkannya, semakin menetap dan semakin mudah pembentukannya.
Anak-anak mengalami jaman yang sulit, demikian dikatakan oleh Paul J. Stoltz. Dikatakan mengalami jaman yang sulit karena anak-anak banyak ditinggalkan orang tuanya, baik karena alasan bekerja maupun alasan lainnya, sehingga pengasuhan tidak lagi dipegang sepenuhnya oleh orang tua. Kondisi ini dapat menyebabkan kondisi kesehatan dan kesejahteraan anak mengalami krisis, terutama pada periode kritis anak.

Berbagai pengalihan pengasuhan anak anak-anak di panti asuhan, yang mungkin ditinggalkan secara permanen oleh orang tuanya karena berbagai alasan, misalnya kematian, kemiskinan, kelahiran yang tidak dikehendaki atau alasan-alasan lainnya. Bagaimanapun juga kondisi ini mempengaruhi status kesehatan anak, terutama dalam hal tumbuh kembangnya.
Di sisi lain, dalam perkembangan selanjutnya, anak memerlukan  kemampuan untuk menghadapi segala permasalahan yang oleh Stolt digambarkan lebih dari sekedar kematangan emosional. Kemampuan menghadapi kesulitan inilah yang disebut sebagai adversity response.
Anak memiliki adversity response yang berbeda-beda, dan berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh penulis, dari sampel penelitian, sebagian besar anak usia 5 – 6 tahun di Kota Surabaya memiliki adversity response sedang. Hal ini patut menjadi perhatian kita semua, karena tingkatan sedang cenderung menurun menjadi rendah, dan untuk menghadapi perkembangan jaman yang semakin kompleks, anak-anak perlu memiliki adversity response yang tinggi. Kita perlu menyimak pola asuh kita terhadap anak-anak, dan mengkaji ulang pada diri kita masing-masing, sudah tepatkah pola asuh yang kita terapkan?
(Surabaya, 20 Januari 2012..Salam, Widya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar